Skip to content
Home » Ritus Ramadan di Pondok Kebinekaan Universitas Muhammadiyah Manado

Ritus Ramadan di Pondok Kebinekaan Universitas Muhammadiyah Manado

  • by

Persis sekitar tiga tahun yang lalu. Di salah satu kampus Muhammadiyah di Manado, terdapat satu bangunan rumah panggung kosong tepat berada di samping Masjid kampus tersebut. Rumah panggung ini dijadikan tempat bermukim para dosen, staf muda, yang juga diikuti anak muda dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Tempat yang menjadi cerita awal penjagaan terhadap ritus-ritus Ramadan yang dirawat dari sisi berbeda oleh beberapa orang dari mereka. Sebuah tempat yang kemudian diberi nama “Pondok Kebinekaan”. Kerap kali Pondok Kebinekaan diisi oleh 3 bahkan hingga lima orang, secara silih berganti.

Penisbatan  nama Pondok Kebinekaan sebagai tempat penjagaan ritus ramadan, sekilas terdengar seperti cerita sekumpulan anak muda religius yang bergumul di rumah panggung ini untuk menjalankan ritualitas ibadah bulan Ramadhan seperti umumnya: Sahur, berbuka puasa, sembahyang, tadarus Al-Qur’an dst.

Tetapi, lebih dari itu, serangkaian cerita Pondok Kebinekaan merupakan kisah beragam dari para perantau yang berbeda secara kedaerahan, yang disatukan di samping masjid kampus Muhammadiyah ini.

Pondok Kebinekaan telah menjadi sisi lain dari pembacaan terhadap ritus-ritus ramadan dengan percakapan keagamaan penuh kekayaan pemikiran, dalam penempaan diri khas perantau terpelajar. Dari sinilah pergumulan itu lahir secara spontan dengan penuh visi pemikiran yang progresif.

Merawat Pemikiran Tiga Tokoh Bangsa

Memasuki tahun pertama di tempat ini, bertepatan dengan memasukinya bulan suci ramadan tahun 2022. Pondok Kebhinekaan kemudian mengawali ceritanya dengan mengadakan diskusi seri membahas tiga tokoh pemikir Islam Indonesia. Di antaranya adalah: Nurcholis Madjid (Cak Nur), Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif, dan Jalaluddin Rakhmat. Ketiga tokoh ini merupakan inspirasi sekaligus rujukan bagi keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan di Indonesia hingga saat ini.

Nurcholis Madjid (Cak Nur), merupakan pemikir yang telah menginisiasi pembaharuan pemikiran Indonesia untuk yang kedua, sebagaimana yang kita tau, tokoh pembaharuan Islam untuk yang pertama kali ialah sosok pendiri organisasi Muhammadiyah, yakni K.H Ahmad Dahlan. Dari pemikiran pembaharuan Islam Cak Nur lah kita meneladaninya sebagai bapak pluralisme—yang mengkontekstualisasikan doktrin-doktrin keislaman, dengan pembaharuan pemikiran yang mengakomodir kekayaan kultural dan perayaan terhadap kebhinekaan di negara ini.

Sedangkan Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif, telah menjadi salah saru panutan bagi banyak kalangan di negara ini. Utamanya bagi para warga Pondok Kebinekaan. Buya adalah mercusuar bagi kedalaman gagasan dan tindakan yang ditunjukannya dalam bingkai semangat keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, dalam satu tarikan nafas. Buya yang merupakan ulama cum Intelektual telah banyak memberi inspirasi hidup di masa kini dan di masa depan. 

Yang terakhur, ialah Jalaluddin Rakhmat. Kang Jalal, sapaan akrab bagi pemikir Islam Indonesia yang satu ini. Juga turut mengisi kekosongan perjalanan ramadan bagi para warga Pondok Kebinekaan. Sosok Intelektual Islam Indonesia yang tak akan pernah dilupakan dalam sejarah pemikiran Islam, berkembang dengan karakter pemikiran yang multidisipliner. Baik pada filsafat, sufisme, hingga pemikiran Syi’ah. Hal inilah yang membuat kang Jalal patut dijadikan salah satu diskursus dan teladan dalam mengarungi luasnya samudra pemikiran Islam yang progresif, dan hendak melakukan penerimaan terhadap perbedaan.

Menjaga Masjid, Merawat Islam yang Rahmatan Lil alamin

Selain bergumul dengan kekayaan diskursus pemikiran keislaman yang rahmatan lil alamin,  para warga Pondok Kebinekaan juga ikut menjaga mesjid di kampus Muhammadiyah. Bagi mereka, menjaga masjid bukan hanya ikut memakmurkannya dengan ritus ibadah wajib saat bulan ramadhan, seperti pada umumnya. Lebih dari itu, menjaga masjid kampus merupakan sebuah upaya menjadikannya sebagai pusat peradaban sebagaimana mesjid-masjid kampus lainnya yang menjadi pusat pemikiran dan memiliki visi keislaman yang rahmatan lil alamin.

Menjaga mesjid kampus memang sangatlah penting, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh salah satu Cendekiawan Muslim Prof. Azyumardi Azra–“bahwa Indonesia kita sesungguhnya bukanlah tanah yang subur, untuk itu perlu kita waspadai dengan menjaga mesjid-mesjid kampus jangan sampai dikuasai kelompok Islam garis keras” (2014).

Sebab, gerakan Islam garis keras sering merambah ke masjid-masjid kampus untuk dijadikan sebagai sasaran utama dan ladang dakwah bagi kehadiran pemikiran keislaman yang anti keberagaman dan jauh dari wajah Islam rahmatan_lil alamin. Utamanya, ketika gerakan ini dibingkai dengan agenda-agenda ritus bulan suci ramadhan; buka puasa bersama, kajian dan kultum. Yang seringkali mereka jadikan sebagai agenda untuk mendoktrinasi, bahkan mendeklarasikan gerakan-gerakan Islam yang jauh dari cita-cita kedamaian, kemanusiaan, dan kebinekaan.

Untuk itulah, kehadiran warga Pondok Kebinekaan menjadi penting di seputaran masjid kampus ini. Ritus warga Pondok Kebinekaan telah menjadikan ramadan sebagai pengalaman yang dirindukan pada sebuah masa ketika masjid kembali menjadi pusat peradaban dan pusat kemajuan pengetahuan. Keberadaannya di tengah-tengah mahasiswa dan masyarakat seputar kampus, juga merupakan bentuk solidaritas sosial yang tumbuh dengan wajah Islam yang kaya akan pengetahuan dan kedamaian.

Hingga tulisan ini dibuat, mereka terus ada untuk ikut menjaga masjid kampus, dalam menjalankan ibadah bulan suci Ramadhan (1446 Hijriah) Tahun 2024 dengan penuh kedamaian.

Editor: RM

Penulis:

Moh. Fikli Olola adalah Ketua Umum DPD IMM Sulawesi Utara Periode 2024-2026 dan Pengurus Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *