
Pada saat ramadan umat Islam dianjurkan untuk berpuasa dari sebelum terbitnya fajar hingga terbenamnya fajar. Ramadan diyakini sebagai bulan yang penuh dengan spirit ketakwaan. Umat Islam pada saat ramadan berlomba-lomba untuk memupuk amal shalih: Tadarus Al-qur’an, memperbanyak ibadah dan banyak memberikan sedeqah.
Dimensi lain bulan ini adalah berbagai tradisi yang biasa dilakukan dengan penuh kegembiraan, seperti: war takjil, sahur on the road, dan ngabuburit. Ramadan disambut dengan perasaan yang penuh suka cita.
Ada hal yang cukup ironis dari puasa yang dijalani oleh Muslim, saat tiba waktu berbuka, muncul semacam dorongan untuk “balas dendam” atas dahaga dan rasa lapar saat menjalani puasa.
Karena pada hari-hari biasa makan tiga kali dalam sehari, pada saat berpuasa waktu makan dibatasi; hanya saat terbit fajar hingga waktu sahur.
Di sinilah terjadi peningkatan konsumsi terhadap makanan maupun minuman. Makanan yang disediakan biasanya berlimpah ruah, berbagai takjil tersedia di meja makan.
Masalahnya adalah makanan yang berlimpah ini sering tidak bisa dihabiskan dan tidak bisa disimpan. Hasrat balas dendam tadi, tidak bisa menjamin perut untuk menampung semua yang disediakan di atas meja.
Kita tidak boleh menganggap remeh-temeh persoalan ini, karena salah satu dampak dari peningkatan konsumsi adalah munculnya food waste (sisa makanan) makanan yang lebih besar. Sisa makanan adalah limbah dari makanan yang tidak bisa dihabiskan.
Pada saat yang sama terjadi peningkatan penggunaan styrofoam dan kemasan plastik dalam penyediaan makanan. Apalagi banyak rangkaian kegiatan seremonial seperti bazar ramadan dan pasar ramadan– salah satu rangkaian dari berbagai kegiatan tersebut adalah wisata kuliner.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa pada tahun 2023 sampah saat bulan ramadan meningkat 20% karena jumlah sisa makanan dan sampah kemasan. Limbah makanan meningkat pesat saat bulan ramadan, padahal jika mengacu pada data Food and Agriculture Organization (FAO) secara global setiap tahunnya 1,3 miliar ton makanan terbuang. Limbah makanan yang mengalami pembusukan akan menciptakan metana. Metana berkontribusi pada emisi gas rumah kaca yang kuat.
Kontribusi atas kerusakan lingkungan bukan hanya disebabkan oleh penebangan liar, perampasan ruang hidup, deforestasi, tambang ekstraktif dan reklamasi, namun disebabkan juga oleh semangat beragama yang tidak bisa dikontrol di antaranya adalah over konsumsi.
Inti dari berpuasa adalah menahan. Nafsu terhadap makanan harus ditekan saat berbuka puasa dan sahur dengan menghindari dan mencegah perilaku berlebih-lebihan saat makan dan minum. Bahkan Islam sendiri telah memerintahkan untuk jangan berlebih-lebihan, karena Tuhan tidak menyukai perilaku ini (Q.S Al-Araf; 31). Tidak cukupkan peringatan Tuhan dalam surahl tersebut untuk kita refleksikan bersama.
Peringatan Tuhan perlu diejawantahkan dalam tindakan sehari-hari, apalagi pada bulan ramadan. Ketakwaan bukan hanya berkutat pada hubungan transendental, tapi pada hal-hal yang sederhana, termasuk mengatur pola makan dan minum agar tidak berdampak pada lingkungan. Mengatur penggunaan kemasan yang ramah secara ekologis.
Hubungan manusia dengan alam yang tidak simetris menyebabkan peningkatan konsumsi makanan yang berkontribusi pada krisis lingkungan. Barangkali perilaku ini terdorong pada pemahaman yang sempit atas doktrin keagamaan
Islam memiliki doktrin bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi (Shad: 26; Al-Araf: 69 dan 74, Al-an’am:165 dan An-Nur: 55). Jika ditafsirkan secara sempit dan kaku membuat manusia merasa “agung” di muka bumi, karena sebagai pemimpin dan perwakilan Tuhan.
Dalam relasi antar makhluk di muka bumi, manusia memiliki posisi yang paling istimewa, secara hirarki berada pada struktur yang paling tinggi. Hubungan ini menjadi tidak seimbang antara manusia dengan ciptaan Tuhan yang lain, sehingga memberi kesan bahwa manusialah yang menentukan kehidupan ciptaan yang lain, termasuk mengeksploitasinya (Bagir and Martiam, 2017)
Padahal, jika dimaknai secara lebih luas dan mendalam, alasan Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, agar manusia berperilaku menjaga keseimbangan dan keharmonisan (Sanusi, 2019). Muslim tidak boleh menganggap alam dan ciptaan Tuhan yang lain memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan manusia.
Jika memiliki pandangan seperti itu, yang ada hanyalah dominasi atas alam. Alam mesti ditempatkan setara dengan posisi manusia. Segala tindakan yang lahir dari seorang muslim simbiosis dengan alam. Bukan justru merugikan.
Jika ramadan adalah bulan yang paling mulia, jadikanlah makhluk ciptaan Tuhan yang lain sebagai ciptaan yang mulia pula. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Inheren pada diri seorang Muslim bahwa sangat penting membangun hubungan yang simetris dengan berbagai makhluk ciptaan Tuhan.
Peningkatan ketakwaan di bulan ramadan, diikuti juga dengan kesadaran ekologi. Puasa ramadan bukan sekedar menahan lapar, haus dan nafsu, tapi momen penting untuk mengontrol kembali perilaku konsumtif manusia. Perilaku yang ekstraktif yang mengancam keberlangsungan ekologi.
Daftar Pustaka
Bagir, Zainal Abidin and Najiyah Martiam, “Islam Norms and Practices” in Routledge Handbook of Religion and Ecology, Edited By Willis Jenkins, Mary Evelyn Tucker and John Grim, Abingdon: Routdlege, 2017.
Sanusi, Burhanuddin, “Persoalan Krisis Lingkungan: Cara Pandang Agama dan Ekonomi Sebagai Usaha untuk Sustainbilitas Alam Raya” Jurnal Yaqzhan : Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan Vol. 5, No. 1 2019 pdf.
Editor: JC
Penulis:

Rohit Mahatir Manese adalah Ketua Umum DPD IMM Sulut Periode 2022-2024 dan Direktur MI ASM 2019-2022