Skip to content
Home » Wajah Demokrasi Indonesia: Sebuah Refleksi

Wajah Demokrasi Indonesia: Sebuah Refleksi

  • by
Sumber: willyaditya.com
Sumber: Willyaditya.com

Setelah dua puluh tahun lebih reformasi bergulir, sesudah berbagai upaya langkah mendemokratisasikan kelahiran bentuk-bentuk institusi dan perubahan prosedur ekonomi-politik dilakukan.

Pemerintah silih berganti, pemilu berjalan bebas dan berulang (meski belum menjamin common welfare-nya), desentralisasi dan otonomisasi dalam Pilkada langsung (sebagai ruang perpanjangan tangan kelompok elit lokal). Agaknya, kita masih menemukan demokrasi yang masih jauh dari amanat dan cita-cita para pendiri bangsa.

Melihat nasib demokrasi hari ini penting untuk direfleksikan dari kenyataannya yang terus berjalan di rel yang terjal. Mulai dari penyebaran hoax, tribalisme politik, sentimen agama, tirani mayoritas, pemberangusan hak kebebasan beragama, hingga ambisi kelompok oligarki yang menjadikan demokrasi sebagai instrumen untuk mengagregasi kepentingan rente.

Kesemuanya itu, merupakan pekerjaan rumah yang membutuhkan waktu yang panjang untuk memperbaikinya di tengah tren kepuasan terhadap demokrasi prosedural–yang dirasa telah memenuhi unsur formalitasnya, meski tetap saja masih jauh dari nilai substansinya.

Ketika ingin merefleksikan trajektori demokrasi Indonesia selama kurang lebih dua puluh tahun lebih ini, pada tahun 2021 saya membaca kumpulan hasil riset para ilmuwan yang dihimpun dalam buku: Demokrasi Indonesia; Dari Stagnansi ke Regresi.

Sebagaimana digambarkan dalam buku tersebut, kita bisa menarik benang merah wajah demokrasi Indonesia dalam tiga periode: Pertama, periode yang cerah atau musim semi dalam kurun waktu 1999-2009; Kedua, periode stagnasi/musim rontok demokrasi yang berjalan kurang lebih satu dasawarsa 2009-2019; Ketiga, periode regresi (mundur) yang berlangsung sejak 2019 hingga sekarang dan mungkin masih terus berjalan hingga saat ini.

Kenapa Stagnasi demokrasi ini masih mungkin dan terus berjalan mundur? Bukannya kita baru saja melaksanakan Pemilu dan Pilkada langsung, serta melahirkan pemimpin-pemimpin yang baru? “Nothing is permanent in this wicked world, not even our troubles” Charlie Chaplin (1889-1977). Inilah sebabnya, bagi saya, bahwa masalah demokrasi tidak hanya sebagai sebuah proses penyelenggaraan demokrasi secara prosedural. Umumnya memang demikian, setelah terselenggaranya Pemilu yang pada dasarnya hanya ikut melahirkan formalisme semu dari adanya keterwakilan dan kelahiran pemimpin yang baru. 

Kita baru saja menyaksikan bagaimana proses Pemilu dan Pilkada langsung berjalan di tahun kemarin, sebagaimana jalannya “rumus-berulang” pada perebutan akses kekuasaan, sepanjang sejarah–terjadinya stagnasi dan mundurnya demokrasi Indonesia.

Deretan masalah kemudian hadir dan bisa kita kita lihat. Dimulai dari proses agregasi dan artikulasi sistem partai politik yang syarat dengan akses modal finansial tanpa visi ideologis dalam pencalonan legislatif. Manipulasi aturan-perubahan, penyalahgunaan, dan pembajakan hukum dan lembaga Yudikatif untuk mendorong anak seorang presiden yang terpilih menjadi wakil presiden.

Kuatnya kelompok oligarki dan lemahnya civil society–yang kian sulit melahirkan politik alternatif dalam sistem politik demokrasi. Penyelenggaraan pilkada langsung yang dilaksanakan dengan mengarahkan segudang instrumen lembaga negara dan ikut membajak pilkada di beberapa daerah. Hingga yang terakhir, kembalinya masa jalanan dengan tagar #indonesiagelap serta kasus-kasus korupsi yang terkuak namun telah mengakar dan merugikan banyak warga negara. 

Dari refleksi yang panjang ini; apalah arti bagi perbaikan demokrasi jika masih terlalu jauh dari mandat dan cita-citanya yang dulu. Padahal, demokrasi kita sekarang, punya banyak cara untuk belajar pada sejarah kebudayaan demokrasi awal Indonesia.

Bung Hatta misal, dalam bukunya “Demokrasi Kita”, mengatakan bahwa jauh sebelum kita merdeka, sebenarnya, sudah ada tiga landasan bagi cita-cita demokrasi di Indonesia: Pertama, paham sosialis barat dengan dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya sekaligus diperjuangkannya; Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran, dan keadilan Ilahi dalam masyarakat, serta persaudaraan antar umat manusia sebagai makhluk Tuhan; Ketiga, pengetahuan tentang masyarakat Indonesia yang ditegakkan atas prinsip kolektivisme. 

Buya Syafi’i Ma’arif memparafrasa gagasan Bung Hatta ini dengan lima unsur sebagai ciri utama demokrasi asli Indonesia yang patut kita jadikan rujukan dalam mendorong kembali mundurnya demokrasi Indonesia: yakni melalui prinsip rapat, mufakat, gotong royong, hak mengajukan protes bersama, hak bergabung dan menyingkir dari wilayah kekuasaan yang adil dan tidak adil.

Tanpa kembali pada prinsip-prinsip ini apalah arti bagi perjalanan kebudayaan demokrasi Indonesia kedepannya. Namun, sebagaimana hidupnya sebuah sistem bagi masyarakat terbuka, demokrasi tetaplah sebagai sebuah sistem yang tidak mengikat. Menyitir Karl Popper, bahwa kontrak sosial yang terjadi di dalamnya selalu bersifat bongkar-pasang. Maka, demokrasi di Indonesia membutuhkan optimisme bagi kritik dan pembelajaran untuk melakukan perbaikan kedepan.

Tidak hanya terbatas pada elit, tapi pada semua pemimpin, masyarakat-sipil, media, penegak hukum, organisasi keagamaan, akademisi, masyarakat adat, kaya ataupun yang miskin dan semua yang terhimpun dalam publik.

Editor: JC

Penulis:

Moh. Fikli Olola adalah Ketua Umum DPD IMM Sulawesi Utara Periode 2024-2026 dan Pengurus Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *