
Pada awalnya, baik secara teoritis maupun secara ideologis, globalisasi bukanlah satu gejala pada watak sejarah yang hadir secara linier, tanpa ada proses perubahan cara pandang (world view), terhadap mekanisme dan sistem ekonomis yang berwatak eksploitatif dan secara politik berwatak hegemonik dalam mendominasi proses perubahan kehidupan sosial masyarakat Dunia.
Seperti apa kerangka pendekatan terhadap kontinuitas sejarah; ia hadir dan berubah. Seperti itu pula; peran sejarah dan paradigma globalisasi bisa dipahami. Dengan demikian, secara sederhana, istilah “globalisasi” jika kita tarik dalam fase-fase percakapan sebelumnya, maka kita akan menemukan dinamika setiap era dari berbagai macam tarikan sejarah yang melatarinya.
Ini yang perlu terlebih dulu kita dudukkan. Bahwa, globalisasi pada dasarnya merupakan salah satu fase lanjutan dari keberadaan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang secara teoritis bisa dibaca dalam tulisan saya sebelumnya, “Mempercakapkan Kapitalisme”
Meskipun globalisasi senantiasa diutarakan sebagai era baru bagi masa depan, yakni satu era yang senantiasa menjanjikan kemakmuran bagi semua, namun kita perlu melacak kebenarannya pada fase sejarah yang melatarinya.
Mansour Fakih (2001) membagi proses perubahan sejarah ini dalam tiga periode formasi sosial: Pertama, adalah periode kolonialisme yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang menghancurkan ekspansi secara fisik untuk perolehan bahan baku, dalam bentuk penjajahan secara langsung selama kurun ratusan tahun, dan baru berakhir di era perang Dunia II. Pada fase ini Indonesia adalah salah satu negara bekas jajahan, selama kurang lebih tiga abad lamanya. Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan era neo-kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi.
kedua, era pembangunan atau era developmentalisme. Periode ini ditandai dengan kemerdekaan Dunia Ketiga secara fisik, tetapi di era ini pembangunan menjadi dominasi utama negara-negara bekas penjajah kepada negara bekas koloni mereka. Serta, tetap dikontrol secara teori dalam proses perubahan sosial di masyarakat.
Dengan kata lain, pada fase ini kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni, yakni dominasi cara pandang dan ideologi diskursu yang dominan melalui produksi pengetahuan. Utamanya penerimaan warga negara terhadap agenda pembangunan negara.
Di Indonesia pada fase ini kita mengalami dan melewatinya selama 32 tahun pada rezim Soeharto dengan hegemoni ideologi pembangunanisme yang dikontrol secara diktator. Yang pada akhirnya, setelah pembangunan cukup memainkan perannya pada fase kedua, ujung-ujungnya mengalami krisis. Adapun krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tapi satu mode of domination telah disiapkan dan dunia memasuki era baru, yakni era globalisasi;
ketiga, yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui lembaga finansial global dan disepakati oleh organisasi perdagangan bebas dunia yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization) dan ditopang oleh lembaga World Bank (Bank Dunia).
Satu era baru muncul menggantikan era sebelumnya, dan dengan demikian dunia memasuki fase globalisasi. Secara lebih tegas, globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas. Inilah benang merah dari proses perubahan wajah dunia kapitalisme neoliberal yang berkembang menuju pada dominasi ekonomi, politik, dan budaya berskala global.
Dengan terintegrasinya sistem globalisasi, maka pelampauan terhadap ruang dan waktu merupakan inti sebenarnya dalam perubahan wajah ekonomi-politik negara bangsa.
Dahulu kala, sebelum terjadi keberlimpahan akses internet dan keberlimpahan modal finansial, maka untuk mengakses suatu kebutuhan, negara maupun warga negara senantiasa membutuhkan pertemuan tatap muka langsung dalam mengakses kepentingan-kepentingan pada sektor riil dan sektor manufaktur.
Hal ini telah terjadi saat proses sejarah penjajahan di era kolonial berlangsung, ataupun ketika upaya mendominasi negara berkembang berjalan dengan agenda-agenda konsensus ideologi pembangunan, seperti pada dua fase sejarah sebelumnya.
Artinya, yang menjadi pokok masalah dan tantangan terhadap globalisasi, bukan lagi pada masalah sistem kapitalisme yang mengalami keberlimpahan produksi pada sektor barang dan jasa riil. Seperti sepatu, baju, jembatan, atau mobil. Melainkan pada permainan finansial di aras global.
Sebabnya, di banyak tempat dan kawasan, sektor-sektor riil dan manufaktur, kian berguguran, bersamaan dengan jatuhnya kelompok-kelompok yang terkait langsung (petani, nelayan, buruh, dan seterusnya), yang terus merasakan kesenjangan dengan permainan para pemburu rente dalam percaturan ekonomi global.
Pada akhirnya, dampak terburuk globalisasi adalah ketika seluruh kebijakan dan undang-undang dalam negeri pun ikut disesuaikan dengan keinginan kebijakan global. Baik bagi investasi dan pertumbuhan finansial yang turut berpengaruh terhadap hambatan-hambatan sektor riil di masyarakat: perdagangan, perikanan-kelautan, pertanian-pertanahan, dan akses kehidupan ekonomi manufaktur lainnya yang membikin buruh kian tidak sejahtera.
Editor: JC
Penulis:

Moh. Fikli Olola adalah Ketua Umum DPD IMM Sulawesi Utara Periode 2024-2026 dan Pengurus Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif