Skip to content
Home » Mempercakapkan Kembali Kapitalisme

Mempercakapkan Kembali Kapitalisme

  • by
Sumber: Tribunnews.com

Mempercakapkan kembali kapitalisme memang tidaklah cukup dengan waktu yang singkat. Sebabnya, sejarah kapitalisme seturut usia perdebatan yang mutakhir berkembang hingga saat ini. Dewasa ini, ada begitu banyak rujukan yang bisa kita jadikan referensi dalam membaca kapitalisme. 

Yanis Varoufakis (Perdana Menteri keuangan Yunani) dalam bukunya “Talking to My Daughter Brief History Of Capitalism”  (2019) mengawali penjelasan kapitalisme dari sejarah agrikultur nenek moyang umat manusia; yakni masyarakat berburu dan meramu dengan pembagian keuntungan secara merata.

Pasca revolusi agrikultur terjadi, kapitalisme kemudian berkembang dan mulai memaksimalkan kehidupan dengan melahirkan masyarakat yang mengelola urusan kebutuhan dengan bertani. Dari sinilah negara kemudian turut hadir untuk pertama kali dalam mengatur surplus pendapatan, pemanfaatan, dan perhitungan terhadap pembagian hasil pertanian.

Sebabnya, sistem ini hadir dan bertumpu pada surplus sebagai basis penciptaan nilai kebutuhan dan kekayaan yang dijaga oleh kehadiran negara. Kapitalisme kemudian berjalan seiring dengan revolusi Industri lalu mengubah corak dan arah perekonomian dari agraris ke industri. Sebuah masyarakat baru kemudian hadir, upah riil mulai naik, dan standar hidup semua orang, baik miskin maupun kaya, mulai meningkat dan menurun secara terus menerus.

Adapun sebagai sebuah ideologi, kapitalisme berkembang dan berfokus pada pasar bebas, kepemilikan individu demi meraih dan meningkatkan keuntungan berlipat ganda tadi. Di Barat pada abad ke-19, kapitalisme yang dinamis berhasil menggantikan sistem feodal pada masyarakat agrikultur dan mendorong kemajuan teknologi serta obsesi pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat modern. 

Dari sinilah, stratifikasi terhadap basis produksi, sirkulasi, dan konsumsi, menjadi makna yang diperjelas di masyarakat. Baik pada nilai kerja, barang produksi (komoditas), maupun pada pendapatan dan pemanfaatan terhadap nilai yang bertumbuh dari penciptaan komoditas yang dibantu oleh mesin dan pengaturan negara dalam masyarakat modern.

“Sebelum lanjut lebih jauh, bagi pembaca yang budiman tidak perlu berpretensi sekuat tenaga membayangkan bahwa penulis akan mendudukan keseluruhan perdebatan pemikiran klasik, neo-klasik, hingga Neoliberalisme, dalam sejarah kapitalisme modern”. Sebabnya, upaya mencoba menguraikan sejarah kapitalisme ekonomi modern itu seperti mengurai benang yang kusut dalam plot kisah novel history terbaik di dunia.

Kalau kata Mark Skousen, alur ceritanya bisa panjang, sebab, akan berkisah tentang perjuangan keseluruhan sejarah umat manusia dalam mencari kekayaan dan kemakmuran terhadap model pencarian ekonomi modern, yang bisa memenuhi kebutuhan manusia dan pendapatan negara pada umumnya.

Sebuah era baru dalam pencarian arah tatanan ekonomi politik terus berjalan. Kalau kata Zizek, bahwa “lebih mudah membayangkan dunia berakhir ketimbang akhir dari kapitalisme”.

Bahkan pemikir neo konservatif sekelas Francis Fukuyama atau jurnalis neoliberal seperti Thomas Friedman sudah mulai “meratapi” cacat besar pada klaim mereka sebelumnya: The End Of History! sebuah dentuman bagi akhir sejarah dan klaim kemenangan kapitalisme. Kenapa klaim besar ini kembali diratapi? Susan George (penulis The Lugano Report) telah melukiskan kapitalisme sekarang dengan ungkapan begini: “Kapitalisme dewasa ini tidak lagi waras menurut arti ‘kewarasan’ yang dipahami orang-orang waras”.

Apa yang tidak waras pada kapitalisme dewasa ini? Pemikir ekonomi sekaliber Amartya Sen, mendengungkannya sebagai jenis kapitalisme yang menyiapkan malapetaka, karena tidak adanya regulasi atas berbagai malpraktik keuangan yang niscaya berakibat pada spekulasi ganas dan kebuasan pengejaran keuntungan (New York Review of books, 26 Maret 2009).

Atau, dengan meminjam ungkapan Adam Smith, kapitalisme dewasa ini ada di tangan “para pemboros dan penjudi” yang kian membuat modal “jatuh ke tangan orang-orang yang paling berperan menghancurkannya”.

Lebih-lebih di tengah akses dan keterbatasan sumberdaya material, yang menjadikan seluruh sektor ekonomi dilucuti oleh kapitalisme pada akses Sumber finansial saja. Pengabaian terhadap sektor produksi dan sektor modal, yang menjadikan semangat pertumbuhan untuk mengakumulasi nilai lebih, yang pada akhirnya berdampak pada kesenjangan dan terbatasnya sumber daya alam manusia.

Maka dengan tegas mestinya, bisa dikatakan bahwa desakan berbagai macam proses regulasi dan deregulasi kebijakan ekonomi di negara manapun termasuk di Indonesia, tidak perlu capek-capek dikait-kaitkan dengan kekhawatiran ideologis; baik, sosialisme, anarkisme dan lain-lain—yang katanya bisa mengambil alih kontrol terhadap sistem kontrol pendapatan dan pembagian keuntungan negara.

Sebabnya, regulasi dan deregulasi pada tingkat nasional yang memenuhi seluruh hajat hidup warga negara dunia selalu diperketat dan diperluas atas nama stabilitas, dan pertumbuhan pendapatan sistem pasar, sesuai dengan lokus awal sejarah kapitalisme berjalan.

Yang pada kenyataannya, kapitalisme lahir, berkembang, dengan metode ekonomi politik paling ampuh dan terus beradaptasi dengan memonopoli keuntungan dan memperluas kesenjangan manusia.

Editor: JC

Penulis:

Moh. Fikli Olola adalah Ketua Umum DPD IMM Sulawesi Utara Periode 2024-2026 dan Pengurus Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *