Skip to content
Home » Perintah Melepaskan Jilbab Anggota Paskibraka: Pembatasan atau Pelanggaran KBB?

Perintah Melepaskan Jilbab Anggota Paskibraka: Pembatasan atau Pelanggaran KBB?

  • by
Sumber: Kabaraktual.id

Negara ini sering melakukan tindakan paradoks dalam menjamin dan memastikan hak bernegara warganya, menuju hari kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia, justru masih terdapat tingkah lembaga negara yang memasung kemerdekaan beragama dan kebebasan beragama warga negaranya. Tindakan inilah yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terhadap Pasukan Penggerak Bendera Pusaka (Paskibraka) nasional tahun 2024.

Sebanyak 18 anggota putri Paskibraka harus melepaskan jilbab pada 13 Agustus 2024 saat kegiatan pengukuhan di Ibu Kota Nusantara (IKN) oleh Presiden dan pada saat upacara pengibaran bendera 17 Agustus 2024. Hal ini kemudian menimbulkan reaksi publik, utamanya dari Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia, mereka menolak secara tegas keputusan BPIP. 

Memang, kepala BPIP, Yudian Wahyudi telah melakukan klarifikasi. BPIP berterima kasih atas perhatian masyarakat dan menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas isu yang berkembang, BPIP juga menegaskan bahwa tidak melakukan paksaan bagi yang menggunakan jilbab untuk melepaskan jilbabnya.

Meskipun telah memberikan klarifikasi tapi melepaskan jilbab bagi putri Paskibraka berdasar pada Surat Keputusan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 35 Tahun 2024 terkait standar pakaian, atribut dan tampang dari Paskibraka. 

Terdapat kontradiksi dalam klarifikasi Yudian, BPIP tidak memaksa, tapi secara tidak langsung pemaksaan itu terdapat dalam aturan BPIP. Pemaksaan melepaskan jilbab oleh BPIP ini akan diulas dalam perspektif Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).

KBB bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dan sudah direkognisi Indonesia melalui UUD Pasal 28 A- 28 J serta terdapat beberapa peraturan lain, di antaranya: UU HAM  No. 39 Tahun 1999; Ratifikasi terhadap kovenan Internasional Sipil dan Politik (KIHSP) dalam bentuk UU No 12 Tahun 2005. Secara spesifik dalam pasal 28E ayat 1 mengatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

Pasal 28 E merupakan pengakuan hukum dari negara untuk menjamin kebebasan beragama setiap orang. Namun sebelumnya, KBB telah mendapatkan tempat pada UU No 29 Tahun 1945 terkait jaminan negara atas kemerdekaan beragama penduduknya. 

Simbol keagamaan merupakan bagian dari forum eksternum atau kebebasan dalam to manifest agama. Sedangkan beragama dalam wilayah pengakuan batin merupakan forum internum. Karena bagian dari forum eksternum simbol keagamaan seperti jilbab boleh dilakukan pembatasan.

Pembatasan KBB berjangkar pada Undang-undang Dasar (UUD) pasal 28 J ayat 2 bahwa “dalam menjalankan hak kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang yang bermaksud untuk menjamin pengakuan serta penghormaan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, niali-nilai agama, keamanan dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis”.

Meskipun alasan pembatasan dalam pasal 28J bermasalah, apalagi terkait alasan pembatasan: Nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban. Karena ada alasan yang tidak ada dalam KIHSP, maupun kesalahan terjemahan atas alasan pembatasan dari KIHSP ke dalam Bahasa Indonesia. Namun, karena hingga hari ini pembatasan terhadap KBB mengacu pada pasal 28 J ini. Jadi, aturan ini menjadi kerangka hukum dalam menyorot peristiwa tersebut.

Pembatasan KBB bisa dilakukan dengan empat alasan pembatasan, yakni pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban. Dalam konteks jilbab, paling relevan jika dibahas dengan nilai-nilai agama. Karena tidak mungkin simbol ini mengganggu keamanan dan ketertiban, meski bisa dikaitkan tapi cukup jauh. 

Nilai-nilai agama sebagai alasan pembatasan sangat problematik karena tidak terdapat dalam KIHSP dan menjadi legitimasi bagi kelompok mayoritas untuk melakukan pemasungan terhadap kelompok minoritas agama.

 Namun,penafsiran atas nilai-nilai agama sebagai alasan pembatasan hak harus dipahami sebagai sesuatu yang plural, tidak harus dikaitkan denganagama tertentu saja. Nilai-nilai agama juga merupakan hasil dari turunan beragam tradisi, agama dan filosofi (Isnur, 2016). Kemudian dalam putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 atas hasil putusan Judicial Review  terhadap UU PNPS No 1 Tahun 1965, nilai-nilai agama mengacu tidak hanya mengacu pada enam agama yang ada dalam UU PNPS Tahun 1965.

Nilai-nilai agama diletakkan sebagai sesuatu yang plural, inklusif dan bisa berasal dari berbagai agama atau keyakinan, bukan bersandar pada enam agama saja. Jilbab juga merupakan bagian dari manifestasi atas nilai-nilai agama, meski tradisi ini dikenal berasal dari satu agama. Tapi pemakaian Jilbab, bukan melanggar kebebasan beragama penganut agama lain. Jilbab juga merupakan pilihan dari pemeluknya. Jadi membatasi bisa, asal jangan melanggar. Tindakan BPIP sudah masuk dalam tindakan pelanggaran atas kebebasan beragama.

Kemudian, dari perspektif syarat-syarat pembatasan yang mengacu pada: Ditentukan oleh hukum (ditetapkan oleh UU), dan dalam suatu masyarakat demokratis. Syarat pembatasan ini diatur dalam Prinsip Siracusa (Prinsip Siracuses). Prinsip-prinsip ini dirumuskan oleh rezim HAM karena dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan pembolehan pembatasan oleh pemerintah yang telah mengarusutamakan KBB dalam negaranya.

Berdasarkan prinsip tersebut tidak sembarang hukum bisa mengatur pembatasan karena terdapat tujuh hal dalam melihat aturan tersebut bisa membatasi KBB, di antaranya adalah hukum yang mengatur pembatasan tidak bisa sewenang-wenang, tidak bisa dikenakan jika diskriminatif dan bisa diakses semua orang (Bagir, 2020) Keputusan dari BPIP, sewenang-wenang karena memaksa anggota Paskibraka Indonesia untuk melucuti haknya, diskriminatif pula, yakni memperlakukan 18 orang secara berbeda dan tidak adil. 

Berikutnya dalam syarat masyarakat demokratis. Negara yang demokratis harus menghormati dan menjamin hak warga negaranya, bahkan tujuan yang ingin dicapai dalam pembatasan KBB yakni jalannya demokrasi dalam suatu negara. Komitmen Indonesia sebagai negara demokratis, bisa dilihat sejak jatuhnya rezim orde baru sehingga keran kebebasan terbuka lebar dan terdapat dalam dokumen negara, yakni Pembukaan UUD 1945 bahwa bangsa ini memiliki visi untuk kehidupan kebangsaan yang bebas. 

Konteks pemaksaan melepaskan jilbab yang diperintahkan oleh lembaga negara adalah sikap yang melawan syarat menjadi masyarakat demokratis. Karena bukan membatasi, justru intoleransi terhadap kebebasan beragama warga negaranya.

Padahal negara yang demokratis adalah negara yang saling menghargai perbedaan, mengacu pada nilai-nilai keadilan dan martabat manusia (Bagir,2020). Negara yang memberi keleluaasaan bagi siapapun warganya untuk bebas beragama atau berkeyakinan, berekspresi tanpa harus mengalami pelanggaran.

Dalam konsepsi pembatasan KBB, tindakan BPIP terhadap 18 putri Paskibraka adalah tindakan pelanggaran KBB, bukan termasuk dalam pembatasan yang dibolehkan. Secara dasar alasan dia justru tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.  Dalam syarat pembatasan Keputusan tersebut melanggar hukum dan tidak sejalan dengan sifat negara Indonesia yang demokratis. 

Meski pada ujungnya, telah mengizinkan yang menggunakan jilbab, bisa memakainya saat upacara peringatan kemerdekaan ke-79 RI sesuai dengan arahan Kepala Sekretariat Presiden, tapi BPIP harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Lembaga ini justru meninggalkan catatan buruk dalam merawat kebhinekaan Indonesia. Serta, melalaikan tugas negara dalam konsepsi HAM, yakni menghormati, melindungi dan memajukan  hak beragama atau berkayinan warga negaranya. 

Daftar Pustaka

Isnur, Muhammad, “Pembatasan dalam Hak Atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan” dalam Alamsyah A. Dja’far dan Atikah Nuraini, Buku Sumber Hak Atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: Wahid Institut, 2016, hlm 383-410

Bagir, Zainal Abidin, Asfinawati, Suhadi, Renata Arianingtyas, Membatasi Tanpa Melanggar: Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Yogyakarta; CRCS UGM, YLBHI, KOMNAS HAM, 2020

Penulis:

Rohit Mahatir Manese adalah Ketua Umum DPD IMM Sulut Periode 2022-2024 dan Direktur MI ASM 2019-2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *