
Narasi toleransi kini berkembang seturut dalam moderasi beragama. Moderasi beragama awalnya dipelopori oleh Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI pada tahun 2014-2019). Sejak 2019 moderasi beragama kemudian dijadikan program prioritas oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia.
Kemenag menjadikan moderasi beragama sebagai penguatan sikap toleransi dari semua umat beragama, agar bisa bersikap bijak terhadap agama sendiri dan agama olang lain. Dari sini la moderasi beragama menjadi diskursus pengetahuan yang dikembangkan dalam masyarakat lintas keagamaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Adapun moderasi sendiri berasal dari bahasa latin, moderatio, yang bermakna ke sedang-an, yakni tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Dalam bahasa Arab moderasi disebut dengan kata wasath atau wasathiah berpadanan kata dengan tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). (Tohis dkk, 2023)
Paradigma moderasi beragama juga berpijak pada nilai keadilan antar manusia. Nilai nilai moderasi juga sebenarnya, sudah ada dalam ajaran semua agama, seperti Islam dengan prinsip keadilan dan keseimbangan yang di bawah oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran umat Kristiani, dalam kitab sucinya (Yesaya 6:9) tercerminkan melalui kisah Yesus sebagai juru damai.
Dalam Khonghucu moderasi beragama tercerminkan dalam filosofi Yin Yang, yakni sikap tengah-tengah, keseimbangan dan perbuatan bajik. Dalam tradisi Buddha terdapat dalam ajaran Metta yakni, berpegang teguh pada cinta kasih tanpa pilih kasih yang berbasis pada nilai kemanusiaan–dengan Metta ajaran Buddha menolak bentuk-bentuk kekerasan, kebencian, permusuhan terhadap orang lain.
Sedangkan Hindu tercerminkan dalam ajaran Susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan harmonis terhadap sesama manusia atau bertingkah laku dengan baik. Semua agama sebenarnya telah mengajarkan prinsip-prinsip perdamaian dalam bingkai kemanusian yang harmonis.
Indikator moderasi beragama, yakni. Pertama, komitmen kebangsaan yang berupaya untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi berkembang dan berdampingan secara demai. Menjadikan pancasila sebagai panduan dasar dalam menjunjung moderasi beragama.
Kedua, anti kekerasan, menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Dalam upaya menghindari kekerasann atas nama agama, moderasi mengedepankan dialog dan komunikasi yang efektif antara berbagai kelompok keagamaan.
Ketiga, penerimaan terhadap keberagaman budaya dan tradisi yang merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Sebagai mana multikultur dalam masyarakat Indonesia tidak bisa dihindari dan harus dirawat bersama.
Keempat, toleransi yang merupakan kunci dalam menjaga keberagaman multikultur dan multiagama di Indonesia. Tetapi, toleransi yang menjadi salah satu indikator dari moderasi bergama, tidak akan berjalan mulus bila toleransi hanya dimaknai dan dijalankan secara semu.
Toleransi semu, sejatinya merupakan toleransi yang bersifat palsu karena bersifat seremonial, superfisial, dan periferal. Yang artinya, toleransi dijalankan hanya untuk memenuhi tugas kelembagaan, momentum tata krama sosial, dan tidak benar-benar hadir dari ketulusan iman.
Namun toleransi kemudian hanya sebatas slogan tanpa makna tidak ada bukti nyata, toleransi hanya menjadi narasi yang seolah-olah diperwujudkan. Dalam beberapa tahun terakhir, toleransi hanya semboyan untuk menutupi intoleransi yang terjadi di Indonesia.
Data terbaru dari SETARA institute mengenai pelanggaran KBB sepanjang 2023 lalu, mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama (KBB). Kasus pelanggaran KBB, seperti ganguan tempat ibadah, penolakkan tempat ibadah dan seterusnya (SETARA, 2024).
Selanjutnya, intoleransi dan diskriminasi oleh segilintir masyarakat dan elemen negara menunjukkan situasi toleransi belum mengalami perbaikan. Kelompok minoritas agama masih mendapat diskriminasi oleh kelompok mayoritarianisme.
Intoleransi juga terjadi bukan hanya perbedaan agama melainkan dalam agama yang sama, perbedaan akidah menjadi bahan untuk mempersekusi kelompok minor dalam agama sendiri.
Toleransi di Indonesia tentu masih diterapkan, hanya saja belum benar-benar menyentuh toleransi yang otentik dan belum menyasar semua aspek kehidupan beragama. Apalagi dalam konteks keIndonesiaan, Kemenag menjadikan toleransi sebagai tema sentral dalam moderasi bergama. Kemenag harus menjalankan toleransi yang otentik dalam kehidupan beragama.
Untuk itu toleransi yang paling relevan di Indonesia adalah toleransi otentik. Sebagaimana toleransi otentik menurut Abdul Mu’ti ialah terdiri dari atas lima sikap, yakni: Pertama, menyadari adanya perbedaan agama dan keyakinan. Kesadaran ini menunjukan sikap terbuka dan tidak menutup diri untuk identitas agama atau keyakinan yang berbeda.
Kedua, memahami perbedaan dengan menumbuhkan sikap dan minat belajar pada agama lain. Baik persamaan maupun perbedaan. Belajar ke agama lain bukan berarti menjadikan agama itu keyakinan tetapi menjadikannya sebagai ilmu pengetahuan dan pemahaman.
Ketiga, menerima orang lain yang berbeda agama dengan kita. Sikap ini ditunjukkan dengan penghormatan terhadap keyakinan yang berbeda dengan tetap menjaga kemurnian akidah. Menghindari sinkretisisme dan pluratisme yang menyamakan semua agama.
Keempat, memberikan kesempatan dan fasilitas kepada agama yang lain untuk dapat melaksanakan dan melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Termasuk mempermudah pendirian tempat-tempat ibadah.
Kelima, membangun kerja sama dalam hal-hal yang menjadi titik temu ajaran dan nilai-nilai agama yang bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa. Misalnya ajaran tentang anti korupsi, penyalagunaan narkoba seterusnya.
Adapun dalam membangun sikap toleransi yang otentik, hal ini tidaklah cukup jika hanya menjadi tanggung jawab Kemenag. Namun harus menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Meskipun secara kelembagaan, Kemenag memiliki peran dan fungsi strategi dalam mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan harmonis.
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945, Negara berkewajiban menjamin kemerdekaan tiap individu untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya (Mu’ti, 2019).
Oleh karena itu, membangun toleransi yang otentik Kemenag bisa pula melaksanakan tiga peran berikut. Pertama, peran politis; menjadikan institusi Kemenag dari tingkat pusat sampai daerah sebagai rumah bagi semua umat beragama. Secara kelembagaan Kemenag perlu mengembangkan sistem dan budaya meritokrasi di mana penghargaan diberikan kepada yang berprestasi bukan karena afiliasi organisasi, partai politik, atau kroni.
Kedua, peran edukatif. Administrasi Kemenag meliputi pembinaan Madrasah dan penyelenggaraan pendidikan Agama di sekolah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sikap intoleransi sebagiannya disebabkan oleh materi buku-buku teks dan metode pendidikan Agama. Kemenag harus mengembangkan buku teks dan sistem pendidikan Agama yang kritis dan pluralistis dengan berbagai kebijakan.
Ketiga, peran advokasi. Kemenag adalah harapan terakhir bagi umat beragama yang mengalami kesulitan, terutama bagi kelompok minoritas. Kelompok minoritas masih sering mengalami kekerasan teologis seperti penistaan, hatespeech, tuduhan aliran sesat, dll. Hal ini harus menjadi perhatian Kemenag.
Toleransi otentik berupaya membingkai ulang moderasi beragama untuk menuntun dan mengelola keberagamaan yang beragam, menghindari kebencian di antara pola pemahaman yang berbeda.
Hadirnya konsepsi “toleransi otentik” yang ditawarkan Abdul Mu’ti ini kiranya bisa menginternalisasi pemahaman yang inklusif terhadap eksklusivitas keagamaan dalam kehidupan beragama. Hal ini bisa untuk membuka perspektif lebih luas, agar sikap diskriminasi dan kekerasan hilang dari ruang kehidupan beragama.
Sikap beragama harus bisa selaras dengan kehidupan Indonesia yang multikultur dan multiagama. Kemajemukan juga harus terus dirawat dan dikelola dengan baik.
Sikap Moderasi beragama dengan menerapkan sikap toleransi otentik, akan membentuk pola berpikir, bersikap, dan berperilaku, dalam masyarakat yang terhindar dari sikap memecah belah dan nir-kemanusiaan. Dan Moderasi beragama sebagai pelindung hak beragama setiap warga negara, menjadi hal yang substantif untuk melindungi dan menjaga keharmonisan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Daftar Pustaka
Reza Adeputra Tohis, Adlan Ryan Habibie, Rohit Manese, Philosophyzing Moderasi Beragama (Pembacaan Filsafat Ilmu), dalam buku Moderasi Beragama: Implementasi dalam Pendidikan, Agama dan Budaya Lokal, Mei 2023. Hal 57:5
Ilham, Apa Saja Indikator Moderasi Beragama Menurut Kemenag RI, Muhammadiyah.OR.ID, Purwokerto, 2023.https://muhammadiyah.or.id/2022/07/apa-saja-indikator-moderasi-beragama-menurutkemenagri/#:~:text=Pertama%2C%20memajukan%20kehidupan%20umat%20manusia,nilai%20moderat%20alias%20jalan%20tengah%3B
SETARA institute, Rilis Data: Kondisi Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan 2023, 24 Juni 2024.
Abdul Mu’ti, Toleransi yang Otentik: Menghadirkan Nilai Kemanusiaan dan Keterbukaan dalam Beragama, Berpolitik, dan Peradaban Global, Jakarta Selatan, Al Wasat Publishing House, Agustus 2019.
Editor: RM
Penulis:

Fajrin Ramdhani Gobel adalah Ketua Bidang Riset & Pengembangan Keilmuan Pimpinan Komisariat Averroes Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IAIN Manado Periode 2024-2025.