Momentum Natal pada 25 Desember senantiasa dirayakan dengan sukacita oleh umat Kristiani. Di banyak tempat, nuansa Natal sedemikian terasa kala memasuki bulan terakhir pada Kalender Gregorian itu. Pohon Natal menghiasi sudut kota dan rumah-rumah warga, musik khas Natal di putar di pusat-pusat perbelanjaan hingga angkutan umum serta beragam ekspresi maupun simbol dalam menyambut hari kelahiran Jesus Kristus. Dan tak kalah pentingnya juga adalah kehadiran Sinterklas sebagai ikon Natal.
Sosok pria tua berjanggut putih dan berpakaian merah ini selalu dinanti oleh anak-anak karena datang membawa berbagai macam hadiah. Sinterklas adalah simbol kemurahan hati dan kebaikan sebagai salah satu pesan substantif dari Natal itu sendiri.
Natal, tentu saja lebih dari sekedar ekspresi dan simbol tradisi keagamaan, namun juga mengandung nilai sosial keagamaan yang kuat terutama pada aspek toleransi beragama.
Tulisan ini akan mengeksplorasi dimensi toleransi dalam Natal melalui kerangka paradigmatik toleransi yang dikembangkan oleh Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dan kemudian melihat bentuknya pada peran sosial-keagamaan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulawesi Utara.
Toleransi Semu Versus Toleransi Otentik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi dimaknai sebagai sikap yang toleran. Kata ini juga mengandung makna sebagai sikap tengahan yang menghormati, menghargai dan menerima setiap perbedaan dalam lingkup kehidupan sosial, agama, budaya, ras dan etnis. Dalam hubungannya dengan Natal, nilai-nilai toleransi dihidupkan melalui kebersamaan antar rumpun keluarga.
Berkunjung dan bukan hanya sekedar pesiar, namun membangun silaturahmi (Rohit, 2019). Tradisi bertamu ini bukan hanya dilakukan oleh sesama umat Kristiani namun juga dengan pemeluk agama lain. Disinilah Natal menghadirkan ruang perjumpaan yang otentik bagi pemeluk agama berbeda, dan ini penting bagi penguatan toleransi itu sendiri.
Sebab, salah satu dari akar persoalan intoleransi yang terjadi adalah kurangnya perjumpaan yang kemudian mempertebal kecurigaan dan prasangka. Dengan demikian, secara sosiologis perayaan Natal menjadi sarana untuk merawat dan menghidupkan nilai toleransi sebagai sebuah sikap positif dan apresiatif pada keberagaman.
Namun demikian, toleransi sebagai sikap keagamaan yang positif dan apresiatif dalam memandang setiap perbedaan ini tak muncul dari model toleransi semu, toleransi yang formal-transaksional dan toleransi instrumental.
Toleransi semu hanya bersifat palsu karena sekedar seremonial, superfisial dan periferal. Ucapan selamat Natal, selamat Idul Fitri, Nyepi, Waisak, atau Imlek yang dilakukan semata untuk memenuhi tata krama sosial, atau sekedar untuk pencitraan diri, sikap toleransi hanya alat dalam memperoleh atau mempertahankan jabatan politik dan kekuasaan, bukan karena ketulusan iman. Toleransi semacam ini ibarat merawat bara dalam sekam (Mu’ti, 2019).
Oleh sebab itu, kita harus menjalankan toleransi otentik. Toleransi otentik menurut Abdul Mu’ti terdiri dari atas lima sikap, yakni:
Pertama, menyadari adanya perbedaan agama dan keyakinan. Kesadaran ini menunjukkan sikap terbuka dan tidak menutup diri untuk identitas agama atau keyakinan yang berbeda.
Kedua, memahami perbedaan dengan menimbuhkan oleh sikap dan minat belajar agama lain. Baik persamaan maupun perbedaan. Belajar agama lain bukan berarti menjadikan agama itu keyakinan tetapi menjadikan sebagai ilmu pengetahuan.
Ketiga, menerima orang lain yang berbeda agama dengan kita. Sikap ini ditunjukkan dengan penghormatan terhadap keyakinan yang berbeda dengan tetap menjaga kemurnian akidah. Menghindari sinkretisisme dan pluratisme yang menyamakan semua agama.
Keempat, memberikan kesempatan dan fasilitas kepada agama yang lain untuk dapat melaksanakan dan melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Termasuk ini mempermudah pendirian tempat ibadah.
Kelima, membangun kerja sama dalam hal-hal yang merupakan titik temu ajaran dan nilai-nilai agama yang bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa. Misalnya ajaran tentang anti korupsi dan seterusnya.
IMM dan Ikhtiar Membumikan Toleransi Otentik
Dari kesadaran akan pentingnya toleransi otentik ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) bersama Pemuda Muhammadiyah Manado melakukan pengamanan dan penjagaan untuk Umat Kristiani yang sedang melakukan ibadah Natal pada beberapa Gereja di Manado.
Demikian juga, IMM Sulut menjadi rumah yang inklusif bagi mahasiswa Kristen di Universitas Muhammadiyah Manado (UNIMMAN). UNIMMAN adalah salah satu dari delapan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang dikenal dengan tempatnya kader-kader Krismuha (Kristen Muhammadiyah). Bukan hanya itu, di UNIMMAN juga terdapat mahasiswa yang beragama Hindu dan menjadi kader IMM.
Dalam mewujudkan nilai-nilai inklusif dan toleran, IMM membuka ruang bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang agama untuk mengikuti pengkaderan Darul Arqam Dasar (DAD) di Universitas Muhammadiyah Manado. Pada tahun ini tercatat ada 21 kader Kristen yang mengikuti DAD.
Materi-materi yang diajarkan dalam DAD berbasis interdisipliner dalam mengkaji isu lintas agama. Pada sisi ini yang lebih dikedepankan adalah aspek historis dan sosiologis agama dan bukan aspek normatif atau doktrinal. Selanjutnya, pada aspek metode, penyampaian materi diramu sedemikian rupa agar lebih bersifat dialogis ketimbang doktrinal. Hal ini dimaksudkan agar proses belajar dimungkinkan berjalan secara inklusif.
Dengan gambaran tersebut, maka dalam kerangka toleransi otentik yang dikembangkan Mu’ti di atas, pengkaderan IMM telah menerapkan sikap toleransi yang kedua, yakni belajar agama lain sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sosiologi agama mengkaji agama bukan agama sebagai keyakinan penganutnya, tetapi mengkaji agama secara historis yang bersifat sosiologi atau fenomena dalam agama tersebut.
Kader Krismuha juga diberikan ruang untuk berekspresi, di DAD saat sesi mentoring para kader Krismuha menyanyikan lagu-lagu Kristiani dengan gembira. Bahkan setahu saya kader-kader ini aktif dan mengisi struktur kepengurusan di Komisariat UNIMMAN.
Barangkali ke depan Immawan dan Immawati (Sebutan untuk kader IMM) Krismuha bisa menjadi Ketua Pimpinan Komisariat, Ketua Cabang dan bahkan Ketua DPD IMM Sulut. Apalagi IMM benar-benar menerapkan meritokrasi dalam setiap pemilihannya.
Peran sosial-keagamaan IMM di atas sesungguhnya merupakan wujud dari manifestasi prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dalam tubuh IMM Sulawesi Utara. Penghormatan dan penghargaan terhadap yang berbeda sudah menjadi DNA Gerakan IMM.
Terlebih dengan melihat konteks Indonesia dengan realitas keberagamaan yang beragam, sikap toleransi harus menjadi jembatan keharmonisan antaragama.
Dengan ikut terlibat pada pengembangan wacana maupun praktek kebebasan beragama, IMM menjadi bagian penting dalam membangun dari jembatan keharmonisan itu. Semoga IMM terus menumbuhkan toleransi yang otentik bukan toleransi yang hanya sekedar ramuan yang cepat pudar.
Akhir kata, selamat Natal bagi yang merayakan terutama Immawan dan Immawati Krismuha.
Referensi
Rohit Manese, Natal pada Sisi yang Lain, Kompasiana.Com 25 Desember 2019.
Abdul Mu’ti, Toleransi yang Otentik: Menghadirkan Nilai Kemanusiaan dan Keterbukaan dalam Beragama, Berpolitik, dan Peradaban Global, Jakarta Selatan, Al-Wasat Publishing House, Agustus 2019.
Editor : JC
Penulis
Fajrin Ramdhani Gobel adalah Ketua Bidang Riset & Pengembangan Keilmuan Pimpinan Komisariat Averroes Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IAIN Manado Periode 2024-2025.