Sumber: Dok. Pribadi

Berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah ditegaskan bahwa Musyawarah Komisariat (Musykom) dilaksanakan setahun sekali, sesuai dengan batasan masa periode 1 tahun kepemimpinan IMM di tingkat Komisariat.

Musykom merupakan musyawarah tertinggi di tingkat komisariat. Perhelatan ini membuka ruang untuk menentukan arah masa depan, menata semangat gerakan dan memaksimalkan strategi gerakan di tingkat komisariat, bukan hanya sekedar momen periodesasi pergantian kepemimpinan.

Melainkan arena pertukaran ide, pembentukan gagasan, revitalisasivisi gerakan, dan menginternalisasikan nilai-nilai dalam tubuh IMM, religiusitas, intelektualitas dan humanitas.

Dalam Musykom, penting untuk melakukan evaluasi terhadap perjalanan satu periode kepemimpinan tingkat komisariat, merumuskan platform kerja ke depan dan memilih struktur kepemimpinan baru. Di sinilah Musykom menjadi ruang dialogis dari ragam perspektif kader, untuk melahirkan pemimpin yang berintelektual. 

IMM dan Gerakan Intelektual Kolektif

Intelektual kolektif yang digagas oleh Pierre Bourdieu muncul karena merespon pendekatan intelektual Julien Benda yaitu intelektual benda-isme atau sering disebut intelektual menara gading dan intelektual dalam term Antonio Gramsci. (Muktahir, 2011), Gramsci membagi intelektual dalam beberapa tipologi: intelektual tradisional dan intelektual organik.

Intelektual tradisional merupakan intelektual yang menyebarkan ide dan berfungsi sebagai mediator antara massa rakyat dan kelas atas. Intelektual organik, yakni kelompok yang dengan badan penelitian dan studinya yang berusaha memberi refleksi dan keberpihakan atas keadaan sosial. Namun, penelitian dan studinya hanya terbatas untuk kepentingan kelompoknya sendiri.  

Intelektual kritis, yakni intelektual yang mampu melepaskan diri dari hegemoni penguasa elite kuasa yang sedang memerintah dan kemudian mampu memberikan pendidikan alternatif  yang kritis untuk pembebasan dalam masyarakat.  

Intelektual universal, yakni intelektual yang menjadikan proses peradaban dan struktur yang berusaha memperjuangkan kemanusiaan serta menghormati setiap martabat hak asasi manusia yang inheren dalam diri manusia itu sendiri.

Berbeda dengan kebanyakan definisi intelektual di atas, bagi Bourdieu pandangan tentang intelektual seperti ini gagal mencakup pandangan intelektual itu sendiri—dalam percakapannya—juga gagal untuk membentuk dunia intelektual secara keseluruhan. 

Menurut Bourdieu, intelektual harus menjadikan proses peradaban dan struktur yang berusaha memperjuangkan kemanusiaan serta menghormati setiap martabat hak asasi manusia yang inheren dalam diri manusia itu sendiri. Intelektual harus benar-benar menanggung setiap kepentingan universal, yakni mempertahankan kebenaran dan keberpihakannya pada yang tertindas, karena:

Pertama, intelektual merupakan fraksi subordinat, yang tersinggkir dan terdominasi oleh kelas kekuasaan, terutama dalam kerangka kepentingan ekonomi. Kedua, intelektual harus mempunyai tanggung jawab moral. Ketiga, intelektual mempunyai otoritas untuk melakukan refleksi dan perlawanan atas realitas yang dihadapi (Muktahir, 2011).

Paling utama bagi intelektual adalah mempertahankan otonomi sebagai intelektual, yakni merdeka sebagai intelektual dalam berkarya dan menyuarakan kepentingan kelompok yang terpinggirkan oleh kekuasaan ekonomi dan politik. Bagi bourdieu hal ini harus dilakukan karena kekuasaan ekonomi dan politik telah menghancurkan tatanan dunia sosial dan meluluhlantakkan otonomi intelektual.

Kekuasaan politik tak jarang juga sering mengancam otonomi intelektual melalui pengawasan yang berlebihan terhadap aktivitas intelektual, mematikan setiap gerakan dan bahkan melakukan mekanisme sensor atas karya intelektual.

Di sisi lain, penetrasi uang telah menjadikan intelektual abai akan panggilan utama dalam tanggung jawabnya sebagai intelektual. Dengan menghadapi kenyataan itu, Bourdieu menyuarakan perlawanan dengan suatu gerakan yang dinamakan intelektual kolektif.

Gerakan intelektual kolektif merupakan sebuah kelompok intelektual yang masing-masing anggotanya mempunyai kompetensi dan kemampuan spesifik. Setiap anggota kelompok saling berhubungan, membagi pengetahuan dan menyongkong intelektual lain dalam setiap gerakan membela mereka yang terdominasi.

Dalam konteks IMM, realisasi gerakan intelektual kolektif  penting untuk dilihat dalam tubuh IMM Sulawesi Utara (Sulut), yakni selalu berada dalam keberpihakan kepada kelompok-kelompok rentan dan minoritas agama. 

Melalui lembaga sekoci Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif (MIASM) yang berdiri 2019, IMM Sulut secara konsisten mengembangkan ilmu pengetahuan dan menunjukkan sikap pembelaan terhadap kelompok minoritas, terutama kelompok Ahmadiyah, saat Ahmadiyah menghadapi diskriminasi dan tindakan intoleransi di rana lokal maupun nasional. 

Tidak hanya itu, IMM juga aktif dalam basis gerakan advokasi, perampasan ruang hidup. Bagi IMM keberpihakan kepada kelompok rentan bagian yang inheren dalam tubuh IMM itu sendiri.

Namun, kita tidak bisa berpuas diri. Utamanya dalam konteks IMM Cabang Kota Manado, khususnya Komisariat yang ada di IAIN Manado.

Asbab, kita masih harus terus merumuskan dan melanjutkan berbagai macam alternatif pengetahuan dan gerakan yang nantinya bisa berpihak pada keseluruhan struktur kehidupan sosial yang timpang, tanpa tebang pilih isu kemanusiaan. Artinya, kehadiran intelektual IMM harus bisa hadir secara kolektif dan mampu menembus setiap struktur kehidupan masyarakat yang timpang secara kolektif.

Membangun Diskursus Multidispliner 

Dalam memproduksi ilmu pengetahuan yang mendalam dan mendasar untuk kepentingan kemanusiaan. Diskusi lintas disiplin ilmu ini bisa menjadi strategi awal dalam menciptakan intelektual kolektif. Pertukaran gagasan lintas disiplin ilmu menjadi ruang untuk merespon persoalan isu-isu sosial di ranah lokal maupun nasional.

Diskursus multidisiplin ini mempertemukan berbagai pendekatan keilmuan, seperti Sosiologi, Hukum, Ekonomi, Agama dan disiplin ilmu lainnya. Dan bisa menjadi pijakan awal kelahiran secara utuh wajah intelektual kolektif IMM.

Jika melihat isu hanya dari satu pendekatan ilmu, saya rasa akan memiliki keterbatasan dalam mengkaji isu tersebut. Sebab, melihat isu harus menggunakan berbagai macam pendekatan, agar persoalan isu sosial bisa dilihat secara komparatif dan holistik, dan bisa mengetahui secara spesifik tantangan yang sedang dirasakan masyarakat. Diskursus multidisiplin ini membuka ruang kolaborasi antar lintas disiplin ilmu dan membuka informasi lebih luas secara ilmiah.

Selain itu membangun diskursus multidisipliner dan menghidupkan intelektual kolektif itu bukanlah hal yang utopis, tetapi sangat mungkin dilakukan bila kader IMM dalam  displin ilmu pengetahuan masing-masing membuka diri terhadap realitas sosial yang dihadapi dengan pendekatan disiplin keilmuan yang lebih kritis.

Sementara itu dalam membuka ruang multisiplin dengan menyasar isu-isu kemanusiaan. Seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), sikap intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok agama minor, kesetaraan gender, serta pelanggaran hak asasi manusia. 

Misalnya, isu KBB, isu ini bila dikaji dengan disiplin ilmu hukum, dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2, negara menjamin kemerdekaan terhadap hak beragama.

Bisa juga melihat KBB dalam perspektif sosiologis yang membongkar akar persoalan sikap intoleransi dan diskriminasi, selain itu bisa menggunakan perspektif agama, melihat bukan hanya pada teksnya tetapi pada konteks penafsiran islam yang lebih toleran dan harmoni.

Oleh karena itu, diskusi ini bisa dimulai melalui forum-forum informal maupun formal. Diskusi lintas multidisiplin ini harus mampu mengakomodir kader IMM dari berbagai displin ilmu pengetahuan, untuk terlibat aktif dalam pertukaran ide dan pengembangan pengetahuan yang berbasis pada kemanusiaan secara kolektif.

Jika seperti itu gerakan intelektual kolektif dalam tubuh IMM Sulawesi Utara akan terus berlanjut melalui gerakan yang perlu diupayakan lewat Komisariat IAIN Manado. Hal ini penting untuk dimulai dan dirumuskan melalui Musyawarah Komisariat (Musykom) kali ini!

Selamat ber-musyawarah Komisariatku!!!

Referensi 

Arizal Mutahir, Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi, Kreasi Wacana, Januari 2011.

Editor: JC & FO

Penulis:

Fajrin Ramdhani Gobel adalah Ketua Bidang Riset & Pengembangan Keilmuan Pimpinan Komisariat Averroes Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IAIN Manado Periode 2024-2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *