Indonesia adalah rumah bagi semua agama. Untuk menghormati dan mempromosikan Indonesia sebagai rumah bersama bagi berbagai agama dalam pertemuan-pertemuan publik salam lintas agama sering dipakai—ucapan ini bukan hanya sekedar menghormati agama-agama namun bukti rekognisi terhadap eksistensi berbagai agama.
Salam lintas agama sering dipakai oleh masyarakat akar rumput, pejabat negara maupun pemimpin ormas. Namun salam lintas agama ini dipolemikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI menjadi organisasi tempat beraliansinya para ulama dan zuama dari berbagai organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia. MUI lahir sejak zaman orde baru. Lembaga semi negara ini dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1975.
Pada 28-31 Mei 2024 MUI melaksanakan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Bangka, Provinsi Kepualaun Bangka Belitung. Salah satu hasil dari ijtima’ ini adalah fatwa terkait salam lintas agama.
Bagi MUI salam lintas agama yang sering memakai alasan toleransi adalah bukanlah bentuk toleransi yang sebenarnya dan bukan pula bagian dari moderasi beragama. Dalam Islam pengucapan salam merupakan doa dan mesti mengikuti syariat Islam serta tidak bisa dicampur adukan.
Hukumnya haram pengucapan salam yang memiliki dimensi doa khusus agama lain. MUI memandang haramnya salam lintas agama karena salam merupakan doa yang sifatnya ubudiah.
Pandangan MUI terhadap salam lintas agama ini menuai berbagai respon. Pasalnya salam ini telah akrab dalam kehidupan beragama di Indonesi dan telah mengakar.
Putusan ini pasti akan berpengaruh hubungan antara Islam dengan agama-agama lain, mengingat bahwa MUI dianggap sebagai lembaga penting dalam mengatur hal-hal yang bersifat keislaman mulai dari soal ibadah maupun muamalah.
Apalagi sejak masuk era reformasi, MUI telah memposisikan dirinya dari “Khadim al-hukumah” (pelayan pemerintah) menjadi “khadim al-ummah” pelayan umat (Nur Ichwan, 2017). Maka dengan perubahan ini, semakin menegaskan posisi MUI sebagai reprentasi muslim di Indonesia.
Transformasi Peran MUI ini semakin menguatkan berbagai putusan yang telah diterbitkan MUI merupakan putusan yang harus diikuti oleh Muslim di Indonesia. MUI memakai otoritas keagamaanya untuk mengkonstruksi pola dalam berislam. Apalagi salah satu kecenderungan MUI pasca orde baru menjadi kian ekslusif yakni melindungi kepentingan muslim saja, dibandingkan mengakomodasi kepentingan nasional (Nur Ichwan, 2014).
Harusnya MUI belajar pada produk-produk tahun sebelummnya, seperti fatwa haram paham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Sipilis) tahun 2005 dan fatwa Ahmadiyah sesat, menyesatkan dan menyimpang. Fatwa pertama memunculkan multitafsir terhadap istilah-istilah tersebut.
Bahkan muslim akan kaget saat membaca buku terkait tema-tema seperti itu. Fatwa haram Sipilis memunculkan penafsiran yang serampangan, sehingga ketiga istilah tersebut dianggap berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan Muslim.
Apalagi fatwa tahun 2005 tentang Ahmadiyah. Fatwa terkait Ahmadiyah hingga sekarang menjadi legitimasi bagi Muslim arus utama dalam memandang Ahmadiyah.
Ahmadiyah dipandang sebagai organisasi sesat dan kelompok menyimpang, implikasinya berujung pada tindakan secara fisik. seperti: Penyerangan yang terjadi tahun 2007 terhadap warga Ahmadiyah di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat. Akibatnya 14 rumah dan dua musholah mengalami kerusakan.
Bukan hanya itu, fatwa melegitimasi bagi gerakan intoleran kelompok garis keras untuk menganiaya warga Ahmadiyah seperti yang terjadi tahun 2011, di Cikeusik, Banten. Persekusi berujung pada kematian tiga warga Ahmadiyah.
Seperti dua fatwa sebelumnya, hasil Ijtimak akan menjadi transmisi dan produksi pengetahuan bagi umat muslim dalam memandang agama lain. Muslim akan canggung saat berinteraksi dengan penganut agama lain. Apalagi dalam keterlibatan bersama dalam merawat kerukunan antar agama. Toleransi antara Muslim dengan agama lain terancam. Ucapan saja dilarang, apalagi berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan lintas iman.
Putusan ini mendukung truth claim dalam beragama, bahwa satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan hanyalah milik Islam sedangkan agama-agama lain tidak memiliki jalan keselamatan. Meski salah satu putusan dalam forum Ijtima’ MUI meminta Muslim menghargai pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama. Namun putusan haram salam lintas agama membuat posisi MUI menjadi ambivalen.
Di sisi lain ingin menjaga toleransi antara Islam dan agama lain, pada saat yang sama mengancam relasi Islam dengan agama-agama yang lain. Fatwa ini justru kontras dengan konsep Islam Rahmatan lil Allamin. MUI justru menempatkan Islam menjadi agama ekslusif.
Salam lintas agama adalah bukti penghormatan dan upaya menebarkan ajaran cinta kasih dari berbagai agama-agama. Lewat salam lintas agama pengucapnya sedang mendoakan agar relasi antaragama damai dan tidak saling menegasikan.
Tidak perlu MUI memasung kebebasan berekspresi tersebut hanya karena memandang bahwa praktik ini adalah mencampuradukkan ajaran agama. Muslim tidak akan menggadaikan agamanya hanya karena mengucapkan salam lintas agamai, MUI tidak perlu takut.
Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan Assalamuallaikum, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebaijkan, Rahayu. Semoga semua makhluk di semesta ini berbahagia dan terlepas dari berbagai penderitaan. Semoga semua agama hidup toleran, damai dan tanpa diskriminasi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Moch Nur Ichwan, 2014 “Menuju Islam Moderat Puritan: Majelis Ulama Indonesia dan Politik Ortodoksi Keagamaan, dalam Conservative Turn:Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme, Nur Ichwan dkk, Mizan, Bandung.
Oleh:
Rohit Mahatir Manese adalah Ketua Umum DPD IMM Sulut Periode 2022-2024 dan Direktur MI ASM 2019-2022