Skip to content
Home » Toleransi Umat Beragama dalam Stoples Kue

Toleransi Umat Beragama dalam Stoples Kue

  • by
Sumber foto: Republika.co.id

Toleransi adalah sebuah kalimat yang menjadi jembatan penyeberangan  antar umat beragama. Toleransi menjadi kata yang sangat bernilai dalam menjaga perdamaian masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toleransi adalah sikap toleran. Adapun makna dari toleran sendiri adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Untuk mencapai toleransi dalam beragama bukanlah hal yang mudah, karena untuk melaksanakannya kita harus menyimpang dari doktrin teologi atas perbedaan dalam pandangan agama kita sendiri. Doktrin teologi lebih cenderung membenarkan suatu agama secara sepihak, dan meniscayakan kemungkinan kebenaran dari agama lainnya. 

Menenggang perbedaan yang bertentangan, merupakan hal yang sulit dalam kesadaran kita sebagai pemeluk suatu agama secara teologi. Dalam realitas tersebut, kita hanya melakukan toleransi yang sifatnya semu, tidak lebih dari sekedar pencitraan, menghindari predikat intoleransi, basa – basi, dan hanya bersifat seremonial saja. 

Dalam mengimplementasikan sikap toleran, kita harus menghindari toleransi semu, dan menjalankan toleransi otentik. Menurut Mu’ti (2019: 14), toleransi yang otentik terdiri dari lima sikap, yakni:

Pertama, menyadari adanya perbedaan agama dan keyakinan. Kesadaran ini ditunjukkan oleh sikap terbuka terhadap identitas diri dan keyakinan. Tidak ada usaha menutupi. 

Kedua, memahami perbedaan yang ditunjukkan oleh sikap dan minat belajar agama lain, baik persamaan maupun perbedaan. Tanpa harus menjadi agamawan, sikap ini ditandai oleh keberanian memahami agama dari sumber utama, bukan interpretasi lahiriah pengamalan agama. 

Ketiga, menerima orang lain yang berbeda agama. Sikap ini ditunjukkan dengan penghormatan atas keyakinan dengan tetap menjaga kemurnian akidah, menghindari sinkretisme atau pluralisme yang menyamakan semua agama. 

Keempat, memberikan kesempatan dan memfasilitasi pemeluk agama lain untuk dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Termasuk dalam sikap ini adalah mempermudah pendirian tempat ibadah.

Kelima, membangun kerja sama dalam hal-hal yang merupakan titik temu ajaran dan nilai-nilai agama yang bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa. Misalnya kerjasama dalam bidang anti korupsi, penyalahgunaan narkoba, perdagangan manusia, pengrusakan lingkungan hidup dan sebagainya.

Berangkat dari kesadaran akan pentingnya toleransi, sekalipun dalam sekat – sekat teologi dengan doktrin agama yang saling bertentangan, sejatinya dalam beberapa kasus kita telah didorong dalan alam bawah sadar kita untuk menciptakan relasi keagamaan dengan adanya tindakan toleran. Salah satunya adalah, toleransi otentik dalam toples kue kering.

Toleransi otentik dalam toples kue kering adalah sebuah istilah yang penulis ciptakan, untuk mengindentikan nilai – nilai toleransi otentik yang terkandung dalam ekspresi keberagamaan masyarakat Indonesia ketika merayakan hari-hari besar agama yang dipercayai. 

Secara eksoteris dalam proses perayaan hari besar suatu agama, diekspresikan dengan proses peribadatan yang berbeda-beda, seperti salat id di tanah lapang oleh umat Islam, ibadah dalam gereja oleh umat Kristen, dan lain sebagainya. 

Meski demikian, suatu hal yang paling identik dengan perayaan hari besar suatu umat beragama adalah, adanya kue kering yang di tempatkan di dalam stoples, sebagai bentuk pelayanan (konsumsi) kepada siapapun yang datang untuk bersilaturahim. Perihal ini, hampir tidak ada perbedaan masyarakat beragama yang ada di Sulawesi Utara dalam melaksanakannya. Masyarakat Sulawesi Utara bersepakat (menjadi tradisi) bahwa, hari raya sajiannya adalah kue kering.

Secara harfiah dalam stoples kue kering, kita hanya akan menemukan kue nastar, fantasi, nutela, rambutan, dan kue kering lainnya (sesuai persediaan pemilik rumah). Suatu hal yang paling penting dalam toples kue kering adalah, menjadi medium untuk terwujudnya toleransi yang otentik. 

Dalam toples kue kering mampu menghapus sekat – sekat teologi yang ada pada perayaan hari besar, semisal pandangan akan keyakinan tentang hari raya yang benar – benar berasal dari Tuhan (dalam pandangan suatu agama tertentu), yang meniadakan kebenaran hari raya dari Tuhan (agama lainnya). 

Tidak ada pertanyaan tentang perayaan agama mana yang benar, dalam stoples kue kering–yang ada hanya spirit silaturahmi (dengan penuh ketulusan), dan perayaan bersama atas hari raya suatu agama tertentu. Dalam artian lain, stoples kue kering menembus batas ideologi dalam perayaan keberagamaan yang eksklusif, dengan menjadikan suatu perayaan keberagamaan menjadi inklusif untuk semua umat beragama.

Ada canda dan tawa antar umat beragama dalam stoples kue kering, ada kebahagian bersama antar umat beragama dalam stoples kue kering. Pada perihal yang sifatnya esoteris, eksperesi keberagaman dalam stoples kue kering merupakan toleransi yang otentik. Toleransi yang dibangun atas nilai – nilai ketulusan akan kebersamaan, dan sesaat meniadakan toleransi semu akibat perbedaan pandangan secara teologi. 

Jika kita perhatikan dengan teliti, dari perasaan yang terikat dalam setiap silaturahmi antar umat beragama dalam perayaan besar umat beragama, setelahnya; tumbuh kenyamanan untuk bersikap terbuka dalam mengekspresikan nilai-nilai ajaran agama yang dipercayai; tumbuh kesadaran bahwa umat agama lainnya memiliki hak atas peribadatannya sendiri; muncul rasa keterikatan mendalam secara emosional yang menjadikan keterterimaan dalam perbedaaan, karena adanya rasa keterkaitan yang sama dalam dimensi sosial; serta adanya kerjasama (bahkan ketergantungan) antar umat beragama untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.

Dengan demikian, dalam stoples kue kering, alam bawah sadar kita telah mendorong kita untuk memaknai hari besar umat beragama menjadi momentum untuk menjalankan toleransi yang otentik. 

Daftar Pustaka

Mu’ti, Abdul, 2019, Toleransi Yang Otentik: Menghadirkan Nilai Kemanusiaan dan Keterbukaan dalam Beragama, Berpolitik, dan Peradaban Global, Jakarta Selatan: Al-Wasat Publishing House.

Editor: Rohit

Penulis: Novianto Topit

Novianto Topit adalah Sekretaris Umum DPD IMM Sulut Periode 2016 – 2018 dan Sekretaris Bidang Seni Budaya dan Olahraga  DPP IMM Periode 2018 – 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *