Ramadan sebentar lagi akan berakhir, hampir satu bulan umat Muslim berpuasa, tanpa makan dan minum dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Inti dari ritual puasa adalah menahan diri dari hawa napsu. Di penghujung Ramadan umat muslim berlomba-lomba mengejar amaliah di antaranya dengan melakukan i’tikaf di masjid, mengkhatamkan Al-qur’an, dan menunaikan zakat fitrah.
Pada saat yang sama orang-orang yang ada di perantauan, melakukan mudik ke kampung halaman. Mudik dilakukan saban menjelang lebaran. Mudik menjadi penawar yang paling mangkus atas kerinduan pada kampung halaman.
Simbol-simbol Idulfitri pun mulai menyeruak di mana-mana. Apalagi di pusat perbelanjaan seperti mall-mall kita akan mendengar lagu dari Gigi dengan judul “Lebaran Sebentar Lagi atau Selamat Hari Lebaran” atau jika kita tinggal di Manado, lagu-lagu itu akan di putar oleh para sopir angkot (Orang Manado menyebutnya oto micro). Segala penanda di atas menandakan bulan Ramadan berada akan menuju klimaksnya. Namun kita akan merindukan suasana Ramadan, salah satunya adalah perburuan takjil atau War Takjil—merupakan salah satu fenomena yang menjadi popular di Ramadan tahun ini dan ramai diperbincangkan oleh warganet di media sosial.
Mengutip dari laman Muhammadiyah bahwa, takjil berasal dari bahasa Arab ajjala-yu’ajjalu-ta’jillan yang memiliki arti menyegerakan, momentum, atau mempercepat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akjil memiliki dua makna, yakni takjil sebagai penganan untuk berbuka (kata benda) dan takjil merupakan mempercepat atau menyegerakan berbuka puasa (kata kerja)Menurut Munir Mukhan (2010) secara historis tradisi ini bermula di Kauman, Yogyakarta tahun 1950-an dan Muhammadiyah berperan besar dalam mempopulerkan takjil.
Selain makanan untuk berbuka bagi umat Muslim, takjil bisa juga dibeli oleh berbagai penganut lintas agama. Karena takjil ini bisa didapatkan oleh berbagai orang, terjadilah perebutan untuk mendaparkan takjil. Fenomena inilah yang kemudian dinamakan oleh warganet sebagai War Takjil. Bagi warganet War Takjil adalah istilah yang bermakna candaan dalam kontestasi membeli takjil antara yang dilakukan oleh muslim dan non-muslim. Fenomena ini bermula saat beberapa warganet mengeluhkan perburuan takjil yang dilakukan oleh non-muslim hingga menyebabkan takjil habis sebelum tiba waktu berbuka.
Tren-tren terkait War Takjil bisa dijumpai di media sosial, salah satunya guyonan Pendeta Marcel Saerang dalam khotbahnya: “Soal agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan”. Ucapan ini direspon dengan gelak tawa oleh jemaatnya.
Di daerah seperti Manado dengan realitas sosiologis yang multikultural, perburuan terhadap takjil bukan hanya diramaikan oleh umat Muslim, tapi oleh penganut antaragama. Bahkan di pusat-pusat kegiatan ramadan seperti Plaza Ramadan yang berada di Kawasan Mega Mas dan Kampung Ramadan di Ketang Baru turut disesaki oleh penganut antaragama.
Dalam diskursus dialog antaragama, War Takjil menjadi istilah yang sangat relevan, karena mampu membuka ruang baru dalam dialog antaragama, menurut Lattu dan Husein (2023) terdapat empat ruang paradigma dialog antaragama: (1) Struktural, 2) intermediary, 3) keseharian dan 4) imajinasi-simbolik-virtual. Empat paradigma tersebut dikembangkan dari civic engagements oleh Ashutosh Varsney (Husein dan Ahnaf ed, 2023; 182). Empat paradigma di atas menjadi paradigma dalam membaca perjumpaan antar agama-agama pada multiple space.
Pertama, struktural, paradigma dialog ini melibatkan aras struktural. Terdapat dua dimensi dalam dialog ini: 1) kondisi dialog yakni melibatkan pemerintah dan agama yang berujung pada kebijakan politik; 2) teks dialog yakni berbasis pada teks-teks nasional yang menjadi basis hubungan antar agama; Kedua, ruang intermediary dialog dalam bentuk ini tidak melibatkan negara secara struktural tetapi lebih luas dari itu. Dialog antar agama melibatkan masyarakat sipil. Masyarakat sipil mengambil inisiatif untuk menjadi penggerak utama dalam ruang intermediary.
Organisasi-organisasi agama mengambil tanggung jawab dalam menciptakan ruang hidup antar agama. Ketiga, ruang keseharian (quotidian) dialog antaragama mengkapsulasi dalam bentuk tindakan keseharian dan face to face sebagai bagian dari dialog berbasis pada realitas kehidupan. Ruang keseharian memungkinkan masyarakat meretas kekakuan antaragama. Ruang keseharian dan taktiknya menawarkan relasi antaragama yang otentik.
Keempat, ruang imajinasi-simbolik-virtual. Perkembangan virtualisme dan digitalisasi membutuhkan respons dialog antargama sesuai konteks. Ruang ini melampaui dialog yang elitis dan literalis. Virtualisme merespons perkembangan teknologi dan realitas yang membatasi relasi antar agama. Makanya ruang virtual mampu mempengaruhi, merespons dan mengubah relasi antaragama—yang biasanya memiliki kait kelindan dalam dunia nyata, menjadi berjumpa dan saling mempromosikan di ruang virtual
War Takjil merupakan ritual selama ramadan yang memungkinkan keterbukaan ruang perjumpaan antaragama. War Takjil adalah fenomena yang terjadi dalam ruang dialog antaragama quotidian space atau ruang keseharian. War Takjil melibatkan siapa saja (everybodyness) takjil bukan hanya bisa diperoleh muslim, tapi penganut berbagai agama juga bisa mendapatkannya.. Meskipun takjil merupakan tradisi Muslim dalam menjemput buka puasa, namun War Takjil menjadi jembatan untuk penghubung agama-agama (interreleigious engagements) melalui perburuan penganan yang disediakan oleh para penjual takjil.
War Takjil membuktikan bahwa ruang dialog antaragama yang biasanya terjadi dalam ruang formalitas seperti dialog publik yang melibatkan elit negara dan elit agama justru bisa dilakukan dalam ruang non-formal. Ramadan yang ditempuh selama satu bulan, menjadi ruang pemecah kebuntuan dan kekakuan relasi antaragama. Orang-orang dengan latar belakang agama bisa berjumpa, bersapa dan bahkan saling melempar humor tentang takjil.
Kemudian, War Takjil juga menjadi trend issue dalam ruang imajinasi-simbolik-virtual, karena istilah ini dibentuk dan dipopulerkan oleh warganet yang merupakan warga virtual. Makanya ia menjadi viral di media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook maupun Twitter dalam berbagai ruang media tersebut War Takjil dipercakapkan dengan selera humor.
War Takjil sebagai ruang dialog keseharian dan virtual membuktikan bahwa vibes ramadan bukan hanya milik muslim, tapi bisa dijalani bersama dengan penganut agama lain. Relasi antaragama bukan di atur secara top down namun berjalin secara spontanitas dan saling melempar diskursus humoris—inilah bentuk relasi antaragama yang otentik. Melalui War Takjil penganut antaragama membangun komitmen untuk saling menghormati dan memecahkan prasangka yang selama ini menjadi dinding pembatas. War takjil menjadi istilah penting dalam mempromosikan relasi antaragama dalam multiple space.
Daftar Pustaka:
Afandi, “Profesor Munir Mulkhan: Tradisi Takjil Dipopulerkan Muhammadiyah!” Muhammadiyah.or.id.https://muhammadiyah.or.id/2021/04/profesor-munir-mulkhan-tradisi-takjil-dipopulerkan-muhammadiyah/(Diakses pada 31 Maret 2023)
Izak Y.M Lattu dan Fatimah Husein, (2023) “Dialog Antaragama: Dari Dialog Ke Engament Pengalaman Mengajar di CRCS UGM dalam Fatimah Husein dan M. Iqbal Ahnaf (ed), Studi Antar Agama: Metode dan Praktik, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.
Oleh:
Rohit Mahatir Manese
Rohit Mahatir Manese adalah Ketua Umum DPD IMM Sulut Periode 2022-2024 dan Direktur MI ASM 2019-2022