Skip to content
Home » Ahmad Syafii Maarif sebagai Seorang Jurnalis

Ahmad Syafii Maarif sebagai Seorang Jurnalis

  • by

Judul buku    : Ahmad Syafii Maarif sebagai Seorang Jurnalis

Penulis            : Pusat Data dan Penelitian Pengembangan Suara Muhammadiyah

Penerbit         : Suara Muhammadiyah

Tahun Terbit :  2018

Ahmad Syafii Maarif–selanjutnya akan ditulis Buya atau Buya Syafii–telah jamak dikenal sebagai pemikir Islam progresif, sejarawan, guru bangsa dan  tokoh  pluralisme. Tak sedikit buku yang menguraikan pikiran-pikiran seorang Buya Syafii dalam kapasitas tersebut, namun terbilang sedikit buku yang mengulas sisi lain dari Mantan Ketua PP Muhammadiyah  ini sebagai seorang jurnalis.

Barangkali juga, ini adalah satu-satunya karya yang mengulas sejarah keberangkatan Buya Syafii di dunia jurnalistik lengkap dengan ulasan atas tulisan-tulisan Buya di periode itu. Jauh sebelum dikenal cemerlang dengan karir akademiknya maupun pencapaian intelektualnya, pada mulanya Buya Syafii telah merintis karir sebagai seorang jurnalis. Bahkan, tak berlebihan jika disebutkan bahwa bangunan intelektualisme Buya yang dikenal luas dewasa ini, sebetulnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman beliau sebagai jurnalis.

Trajektori Sejarah Seorang Jurnalis; Muallimin dan Pengaruhnya

Buku ini, memotret perjalanan jurnalistik Buya Syafii selama tujuh tahun di Majalah Suara Muhammadiyah (1965-1972). Namun, sebagaimana diakui Buya, embrio sebagai seorang jurnalis terbentuk semenjak melanjutkan studi di Madrasah Muallimin Yogyakarta. Di Madrasah yang menjadi pusat pendidikan kader Muhammadiyah itu, Buya sedemikian tertarik pada dua mata pelajaran umum yang diajarkan disana, yakni mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Sejarah. Ketertarikan ini menjadikan Buya memiliki perhatian khusus terhadap bahasa, kepenulisan dan penerbitan (halaman 37). Minat tinggi pada dunia tersebut mengantarkan Buya untuk bergabung dengan Majalah Sinar, sebuah media cetak milik Muallimin.

Melalui Majalah Sinar kemampuan jurnalistik Buya berkembang pesat. Telebih kemudian, di media yang menjadi pusat Publikasi pelajar Muallimin itu, Buya dipercayakan mengelola dan memimpin meja redaksi (halaman 39). Pengalaman ini memberikan bekal berharga bagi Buya saat menjadi jurnalis di Suara Muhammadiyah. Selain mengasah kepiawaian dalam menyusun argumentasi tulisan, mengelola ruang redaksi guna menghasilkan berita dan tulisan yang menarik pembaca, keterlibatan di Majalah tersebut pun semakin menempah intelektualisme Buya Syafii lewat tradisi adu gagasan melalui tulisan. Muallimin sejatinya adalah ruang persemaian intelektual bagi kader-kader Muhammadiyah dan khususnya kita melihat pada sosok Buya Syafii yang tumbuh melalui didikan Muallimin dengan kualitas intelektualisme yang menjulang di kemudian waktu.

Ilmu Sejarah sebagai Pisau Analisa

Dalam menuangkan pandangannya, Buya Syafii memiliki kekhasan perspektif yakni menggunakan aspek pengetahuan sejarah sebagai pisau bedah realitas (halaman 48). Hal ini banyak tercermin dalam laporan maupun artikel yang ditulisnya selama menjadi jurnalis di Suara Muhammadiyah. Tulisan Buya semisal, “Kemunduran Umat Islam dan Obatnya,” “Mematahkan Mitos Pemimpin=Negara,” “Antara Soekarno, Kertanegara dan Kedaulatan Negara” dan beberapa tulisan lainnya sangat kental analisis kesejarahannya, baik pada aspek komparatif maupun kausalitasnya. Bahkan, jika ditelaah lebih lanjut, pisau bedah sejarah semakin kokoh dan kaya dalam karya-karya Buya kemudian hari.

Demikian juga, misalnya, ketika menyoroti situasi kontekstual umat Islam yang tak pernah bergeser dari buritan peradaban, Buya melihat akar masalah umat ini terletak pada pengabaian mereka terhadap dimensi Islam sebagai kekuatan moral yang menyangga peradaban. Padahal, aspek utama kitab suci Agama ini adalah moralitas. Kegagalan menggali api moralitas ini bukan tidak mungkin akan menggiring umat ini ke tiang gantungan sejarah. Olehnya, dalam upaya menemukan jalan keluar dari problem riil keumatan ini secara lebih komprehensif dan mendalam, Buya menyarankan untuk menyandingkan pembacaan atas Islam dengan disiplin sejarah maupun ilmu sosial kontemporer.

Secara spesifik, pada Buya, ilmu sejarah yang dimaksudkannya bukan semata-mata ilmu yang secara kritis merekonstruksi setiap peristiwa masa lalu untuk merumuskan kebenaran faktual sejarah, namun lebih pada aspek emansipatorisnya. Di mana, pembelajaran atas sejarah mestinya mendorong keinsafan, pemberdayaan pemikiran dan praksis bagi perubahan sebuah masyarakat.

Peradaban dibangun dari titik dan koma

Slogan ini menjadi semacam kredo jurnalistik Buya. Bagi Buya, ketelatenan dalam menuangkan gagasan adalah fondasi penting yang harus dipunyai seorang jurnalis, dan  tentu saja, para penulis pada umumnya. Buya sedemikian terganggu dengan isi tulisan yang abai dan tak telaten dalam urusan titik dan koma. Bahkan hingga di usia tuanya, Buya masih kerap mengkritik jika tulisan-tulisan di Suara Muhammadiyah yang kurang berbobot, terlebih salah tik. (halaman xi).

Urusan titik dan koma ini barangkali terdengar sederhana, namun jika dipahami secara substantif, ungkapan Buya ini lebih dari sekedar kepekaan seorang jurnalis dalam urusan tata bahasa, melainkan mengandung penekanan yang mendalam pada dimensi kehidupan yang lebih luas. Buya menyebutnya dengan istilah peradaban.

Mungkin kita bertanya, apa hubungannya antara titik dan koma dengan sebuah peradaban? Hemat saya–dengan tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan dan saya kira Buya juga tidak memaksudkan demikian–satu diantara tiang penyangga peradaban adalah tulisan. Umat manusia membangun peradabannya salah satunya dengan mempelajari warisan yang tertulis, baik di lembaran kertas, dalam ukiran batu, di pelepah kurma hingga dinding-dinding Gua. Seluruh informasi yang terungkap dalam sejarah mengenai asal usul peristiwa, kemunculan sebuah komunitas, konstruksi ilmu pengetahuan serta nilai-nilai tertentu yang hari ini diwarisi adalah buah dari ketelatenan menulis generasi pendahulunya. Jika tak telaten dalam urusan sesederhana titik dan koma, maka dampaknya sebuah informasi bisa dipahami secara keliru, kebenaran bisa menjadi kabur, dan bukan tidak mungkin menjadi sumber pertentangan dan perpecahan. Sebaliknya, sebuah karya yang ditulis secara telaten akan memberikan dampak pemahaman yang baik bagi pembacanya bahkan menginspirasi bagi gerak maju sebuah peradaban. Sedemikian esensialnya peran titik dan koma itu.

***

Akhirnya, buku yang lahir dari hasil riset Pusat Data dan Penelitian Pengembangan Suara Muhammadiyah ini mengisi kekosongan karya tentang kiprah Buya Syafii di dunia jurnalistik. Dari rekam jejak jurnalisme Buya ini, dapat dilihat lintasan pemikiran keislaman, penekanan yang tinggi pada kemanusiaan, kesetaraan, keadilan hingga kecintaannya pada Muhammadiyah. Tema-tema yang kemudian jamak kita baca dan dengar dalam karya-karya Buya hari ini. Buku ini penting untuk dibaca dalam menggali aspek historis genealogi intelektual Buya Syafii, selain karya Autobiografi beliau, “Titik-Titik Kisar di Perjalananku.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *