
Satu Mei merupakan tanggal yang ditetapkan sebagai hari buruh. Hal ini merujuk pada peristiwa Haymarket di Chicago pada tahun 1886. Saat itu, ribuan buruh melakukan demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam per-hari. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1889, Kongres Sosialis Internasional yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa Haymarket sebagai momentum peringatan hari buruh internasional.
Di Indonesia, peringatan hari buruh telah menjadi bagian dari perjuangan pekerja yang menuntut keadilan sosial dan hak-hak kerja yang layak. Pada 1 Mei 2025, aksi peringatan Hari Buruh kembali digelar di depan gedung DPR RI. Aksi ini diikuti oleh massa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK).
Selain GEBRAK, aksi ini juga diikuti oleh berbagai organisasi lain seperti Aliansi Perempuan Indonesia (API), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), dan Aliansi Mahasiswa Nasional. Meski berasal dari latar belakang berbeda, mereka bersatu menyuarakan aspirasi rakyat.
Aksi ini bukan sekadar bentuk solidaritas antarkelompok pekerja, aksi ini merupakan ekspresi nyata perjuangan kolektif untuk menuntut hak-hak yang belum terpenuhi, serta menjadi sarana menyampaikan aspirasi kepada negara.
Dalam aksi peringatan hari buruh, terdapat lima poin utama tuntutan yang disuarakan. Pertama, pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja beserta seluruh peraturan turunannya, penolakan terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), dukungan terhadap pengesahan RUU Ketenagakerjaan yang berpihak pada buruh, serta penegasan atas jaminan kerja yang layak.
Kedua, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), jaminan hukum bagi PRT, penghapusan sistem kemitraan yang merugikan, serta pengakuan status pekerja bagi pengemudi ojek online, taksi daring, dan kurir. Perlindungan juga dituntut bagi tenaga medis, pekerja kesehatan, perikanan, kelautan, perkebunan, pertanian, pertambangan, serta buruh migran;
Ketiga, penghentian praktik penggusuran pemukiman dan perampasan tanah rakyat, serta pelaksanaan reforma agraria sejati melalui redistribusi tanah dan pemberian teknologi pertanian kepada petani kecil;
Keempat, penolakan terhadap proyek strategis nasional (PSN) yang merusak lingkungan, serta desakan agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan demi menjaga kelangsungan hidup dan hak masyarakat adat. Kelima, pencabutan UU TNI, penolakan keterlibatan militer di kampus, pabrik, dan desa, serta tuntutan agar militer kembali ke barak dan tidak mencampuri urusan sipil.
Aksi yang semula berlangsung damai, kemudian berakhir ricuh. Aparat kepolisian membubarkan massa aksi secara paksa dengan menggunakan water cannon. Insiden dimulai ketika massa aksi sedang menikmati pertunjukan musik dari sebuah band yang tampil di atas truk. Tanpa negosiasi, polisi muncul dari arah kiri Gedung DPR RI dengan kendaraan water cannon, lalu langsung menyemprotkan air ke arah massa, memaksa mereka untuk mundur.
Aksi tersebut kemudian menjadi bentrokan antara massa aksi dan pihak kepolisian, yang berujung pada penangkapan sejumlah demonstran. Mengutip Kumparan News, Cho Yong Gi, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang bertugas sebagai tenaga medis lapangan, turut menjadi korban kekerasan aparat. Yong Gi mengatakan kalau mendapat perlakuan kasar dari aparat ketika hendak pulang, kemudian ditahan dan di bawah ke Polda Metro Jaya.
Selain itu, tindakan seperti itu mencerminkan adanya standar ganda dalam praktik penegakan hukum. Aparat kepolisian menggunakan otoritasnya untuk membenarkan kekerasan terhadap warga sipil atas nama menjaga ketertiban. Ketika bentrok terjadi, aparat dengan mudah melabeli massa sebagai perusuh, padahal mereka sedang menjalankan hak konstitusional dalam sistem demokrasi dan para massa aksi tidak membuat onar ketika aksi berjalan.
Kejadian semacam ini menggambarkan tindakan represif aparat yang menggerus nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sayangnya, aksi mereka dibubarkan secara paksa dan dihadapi dengan tindakan represif.
Padahal, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28E ayat 3, yang menyatakan bahwa negara menjamin setiap individu untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Demonstrasi adalah salah satu bagian dari kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi kelompok buruh di depan umum.
Selain itu, aparat kepolisian yang seharusnya melindungi warga negara, yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa kepolisian sebagai alat negara harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ironisnya, aksi damai tersebut justru kerap direspons secara represif oleh aparat keamanan.
Demikian juga hal ini diatur pula dalam Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dalam Pasal 13, dinyatakan bahwa aparat berkewajiban melindungi hak asasi manusia, menjunjung asas legalitas, menjunjung praduga tak bersalah, serta menyelenggarakan pengamanan secara profesional.
Jika melihat Undang-undang di atas pihak kepolisian harusnya menjalankan tugas dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun pada realisasinya, banyak demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat mendapat kekerasan dari aparat kepolisian. Sebab, dalam kerangka berpikir aparat, para demonstran yang menuntut sesuatu seperti pencabutan undang-undang atau kritik terhadap pemerintah sering dipandang sebagai potensi ancaman terhadap keamanan.
Selain itu, kultur kepolisian di Indonesia masih mewarisi pendekatan security-oriented yang merupakan warisan dari Orde Baru. Pendekatan ini memandang demonstrasi besar cenderung dikaitkan dengan kerusuhan. Akibatnya, penanganan aksi sering diarahkan pada pembubaran cepat, bukan fasilitasi aspirasi.
Tekanan politik juga memengaruhi respons aparat. Pemerintah cenderung menekan aparat untuk mencegah aksi meluas, apalagi jika tuntutan buruh mengkritik kebijakan strategis negara. Aparat pun sering memanfaatkan pasal-pasal “ketertiban umum” sebagai legitimasi tindakan, meskipun undang-undang jelas menegaskan perlindungan terhadap hak berkumpul.
Dengan tindakan represif aparat kepolisian menunjukan bahwa negara abai dengan konstitusi dan Undang-undang yang berlaku. Alih-alih melindungi, aparat justru kerap menjadi pihak yang melanggar hak asasi manusia dan membatasi ruang demokrasi dengan dalih keamanan.
Kepustakaan
Eli Meixler, On International Workers’ Day, Here’s the History Behind the Holiday Celebrating Laborers Around the World, time.com, 1 Mei 2018.
Kurniawan Fadilah, Massa Buruh ‘Gebrak’ Aksi di Depan DPR, Sampaikan 5 Point Tuntutan, detiknews, Kamis 01 Mei 2025.
Fadjar Hadi, Polisi Bubarkan Paksa Demo May Day di DPR, Situasi Damai Mendadak Jadi Ricuh, KumparanNEWS, 1 Mei 2025.
Rhama Purna Jati, Jadi Tim Medis Saat Aksi ”May Day”, Mahasiswa UI Cho Yong Gi Dijadikan Tersangka, Kompas.id, 3 Juni 2025.
Eko Riyadi, Mengapa polisi cenderung menggunakan tindakan represif untuk menyelesaikan masalah?, THE CONVERSATION, 21 Juli 2020.
Editor: RM
Penulis:

Zidni Ilham Sayfuddin merupakan Ketua Bidang Riset Pengembangan Keilmuan Pimpinan Komisariat Fathul Ashrar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IAIN Manado Periode 2025-2026