Skip to content
Home » Merawat Warisan Buya Syafii: Inspirator Kemanusiaan dan Cendekiawan Bersahaja

Merawat Warisan Buya Syafii: Inspirator Kemanusiaan dan Cendekiawan Bersahaja

  • by
Sumber: Jawapos.com

Inspirator kemanusiaan dan cendekiawan bersahaja, dua kata yang tepat menurut saya untuk menggambarkan sosok Ahmad Syafi’i Maarif atau biasa dikenal dengan sapaan “Buya Syafii”. Kepergian Buya Syafi’i, salah satu tokoh nasional menjadi duka yang mendalam dan kehilangan sosok guru bangsa bagi Indonesia. Ditengah grasak-grusuk polemik bangsa yang tiada ujung, pemikiran yang telah digoreskannya menjadi nafas panjang bagi tatanan kehidupan berbangsa kita. 

Sebagai anak ideologis Muhammadiyah, saya mengenal Buya Syafi’i dari berbagai karya yang dituliskannya. Lebih dari itu, saya mengenal jauh pemikirannya melalui lembaga Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif (MI ASM) yang didirikan oleh DPD IMM Sulawesi Utara. Sosok Buya Syafi’i merupakan inspirator kemanusiaan dan cendekiawan yang bersahaja dengan pemikiran dan kapasitas intelektualnya yang brilian.

Sejauh pengamatan saya, Buya Syafi’i memiliki kepedulian di atas rata-rata orang Indonesia terhadap masa depan nbangsa ini. Obsesinya tentang Islam berkemajuan dan Indonesia yang bangkit dari keterpurukan tak pernah padam hingga menjelang tutup usia. 

Pada bagian kesimpulan buku Islam dan Politik Teori Belah Bambu (1996) yang awalnya berasal dari tesis S2 Buya, ia mengatakan bahwa: “Demokrasi dengan segala kelambanan dan kelemahannya sejauh ini masih dipandang sebagai sistem terbaik yang pernah dikenal manusia. Indonesia pasca proklamasi telah mencoba berbagai model demokrasi agar lebih sesuai dengan kepribadian bangsa yang senantiasa menuntut perumusan baru dan segar. Sesudah bebas dari penjajahan politik, nasionalisme Indonesia perlu direorientasikan untuk membebaskan mayoritas rakyat dari kondisi ketertindasan dan ketidakberdayaan ekonomi. Political will pemerintah sangat dinantikan untuk tujuan strategis ini. Praktek korupsi dan kolusi harus dinyatakan sebagai lawan nasionalisme dengan orientasi baru ini.”

Dalam salah satu bab autobiografinya Memoar Seorang Anak Kampung (2013), Buya Syafii Maarif menulis dirinya sebagai “Anak Panah Muhammadiyah”. Meski demikian, Buya bukan hanya menjadi milik Muhammadiyah semata, tetapi telah menjadi milik bangsa Indonesia. Ia punya reputasi sebagai guru bangsa.

Pemikiran dan pandangannya tentang keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan sering menjadi rujukan. Bahkan Buya sering menerima kunjungan di rumah sederhananya dari berbagai kalangan mulai dari presiden, menteri dan pejabat pemerintah lainnya, akademisi, politisi maupun generasi muda harapan bangsa.

Sang Inspirator Kemanusiaan

Buya Syafii mengemban amanah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun (1998–2005), setelah periode kepemimpinan M. Amien Rais. Selama memimpin Muhammadiyah ia meneladankan sikap jujur, welas asih, amanah dan satu hal yang pasti adalah kesederhanaan beliau. Buya Syafi’i adalah sosok yang sangat egaliter, low profil, apa adanya dan tidak mau merepotkan orang lain.

Ia tidak ingin diistimewakan dalam berbagai hal. Dalam pendangen tasawuf, Buya Syafi’i adalah seorang yang qanaah dan zuhud terhadap kemewahan dan kehormatan duniawi. Bahkan ketika Buya Syafi’i menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia rela mengantri dan menunggu untuk gilirannya dipanggil sebagai pasien di RS PKU Muhammadiyah. Kesederhanaan inilah, bagi saya sangat sukar kita temukan dalam keseharian para pejabat dan petinggi di bangsa ini.

Dalam berbagai karyanya, Buya Syafi’i hampir tidak pernah absen untuk menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, menyuarakan moralitas, serta menyerukan amar ma’ruf nahi munkar. Pesan-pesan yang ia tulis dan lafalkan, selalu sarat akan kritik sosial dan pesan moral yang bisa kita lihat dalam beragam konteks bahkan bisa dikontekstualisasikan lebih luas lagi, semisal dalam tatanan sosial-politik.

Oleh karenanya, kita akan menemukan begitu banyak tulisan Buya bertemakan kemanusiaan yang universal sebagai bentuk dari tanggapan fenomena sosial-politik yang sering terjadi di Indonesia.

Sikap serta posisi Buya Syafi’i selalu tegas dan pasti dalam persoalan kemanusiaan sehingga menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat diterima oleh semua kalangan. Di tengah jumlah umat Islam yang mayoritas di bumi nusantara ini, Ia selalu menjadi yang terdepan dalam menyerukan Islam yang rahmatan lil alamin.

Sebuah pesan moral, bahwa tidak boleh ada yang membeda-bedakan bahkan memihak kepada salah satu suku, agama, ras dan golongan tertentu. Semua harus setara dan adil. Oleh karenanya, Buya menginginkan Islam yang inklusif, ramah serta berkemajuan.

Cendekiawan Bersahaja

Melihat kondisi Indonesia akhir-akhir ini, di kita semakin diperhadapkan pada bobroknya para pejabat negeri ini yang rakus akan kepentingan dan kekuasaan. Di tengah persoalan kebangsaan ini, saya menyadari betul betapa kita sangat merindukan sosok guru bangsa yang ada dalam diri seorang Buya Syafi’i. Segala bentuk sikap dan pemikirannya menyasar berbagai lintas generasi, golongan dan antar umat beragama. Buya adalah sosok guru bangsa yang secara kapasitas pemikirannya tentang keindonesiaan dan kemanusiaan tidak diragukan lagi.

Tentu kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti, Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholish Madjid), dan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid). Namun sepeninggalan mereka, Buya Syafii, hampir bergerak bahkan berjalan sendirian. Banyak sekali orang setuju dengan gagasannya yang cerdas dan begitu berani.

Kritiknya yang sangat keras, namun sangat sedikit sekali juga yang berani menyuarakan kebenaran di tengah semua hanya fokus berebut sepotong kue kepentingan dan kekuasaan. Dengan sikap dan kritiknya yang berani tersebut, Buya selalu mendapat cacian dan makian dari berbagi kalangan yang tidak sejalan dengan pemikirannya.

Buya tetaplah Buya, meski harus diperhadapkan dengan hal seperti itu, ia tetap mengahadapinya dengan tenang dan tidak mempengaruhinya untuk bersuara. Ia seperti pohon mangrove yang berdiri tegak, menjadi pelindung ditengah derasnya arus politik kebencian yang terus menerpanya. Ia tetap berjalan dengan pasti, meskipun riuhnya nyanyian miring yang terus menguntitnya.

Merawat Legacy Buya Syafi’i

Melalui tulisan ini, tentu menjadi tugas kita bersama sebagai anak panah Buya untuk terus merawat dan menyebarluaskan pemikirannya. Ada tiga pesan Buya Syafi’i yang disampaikannya pada saat diwawancarai oleh Adlan Ryan Habibie (2019): Pertama, perkuat tradisi iqra’ atau literasi. Kedua, jangan fanatik; Ketiga, perluas radius pergaulan. Ketiga pesan ini sangat relevan hingga kini, terutama bagi kader-kader IMM Sulawesi Utara.

Tradisi iqra adalah tradisi yang harus terus ditumbuhkan sebagai modal bagi kader IMM untuk bisa mengasah, menerawang dan menganalisa berbagai persoalan dan tantangan yang akan dihadapi. Jangan fanatik, satu hal yang sering kita lihat dalam tata cara kita beragama.

Bagi Buya Syafi’i, fanatik itu boleh-boleh saja, yang penting jangan sampai fanatik buta. Terakhir, perluas radius pergaulan. Pesan terakhir ini mengisyaratkan bahwa, betapa pentingnya untuk membangun pertemanan dengan siapapun tanpa harus melihat latar belakang suku, agama, budaya, golongan dan organisasi tertentu.

Selain itu, hubungan yang baik dalam membangun pergaulan yang luas adalah hubungan pertemanan yang dilandaskan pada cinta, kasih sayang yang tulus tanpa mengharapkan timbal balik apapun.

Dengan adanya Madrasah Intelektual Ahmad Syafi’i Maarif (MI ASM) DPD IMM Sulawesi Utara, harapannya bisa menjadi wadah yang mampu melahirkan kader-kader yang memiliki pemikiran inklusif, progresif, serta berkemajuan. 

Saya ingin menutup tulisan ini dengan harapan yang besar, ke Depan akan lahir sosok Buya Syafi’i dalam diri para kader IMM di Sulawesi Utara. Bukan hanya pada tataran pikiran saja, namun menjadi laku hidup dalam segala aktifitas sosial kemasyarakatan. Terakhir, merawat Buya Syafi’i adalah jalan yang sunyi nan terjal. Kita bukan hanya semata merawat pemikirannya, tetapi kita sedang berusaha untuk terus merawat tentang keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan yang universal.

Daftar Pustaka

Maarif, Ahmad Syafii , 1996, Islam dan Politik: teori belah bambu masa demokrasi terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press.

Ahmad Syafii Maarif, 2013, Memoar Seorang Anak Kampung, Yogyakarta; Ombak.

Adlan Ryan Habibie, 2019, Pemikiran Etika Politik Ahmad Syafii Maarif, Tesis Magister, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Editor: JC

Penulis:

Suparlan Musaler adalah Ketua Bidang Organisasi DPD IMM Sulawesi Utara 2024-2026 dan Pengurus Pengurus Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *