Skip to content
Home » Puasa Digital

Puasa Digital

  • by
Sumber: penapijar.com

Digitalisasi merupakan kenyataan hidup manusia hari-hari ini. Digitalisasi bertalian erat dengan keseluruhan hajat hidup manusia yang telah dikepung oleh budaya layar (screen culture), termasuk ruang keberagamaan. Hal inilah yang dikatakan oleh Fransisco Budi Hardiman, bahwa “kehidupan manusia di era digital telah menjadikannya budak bagi mesin-mesin”.

Di sini kita bisa melihat akar masalahnya pada film dokumenter The Social Dilemma, sebuah film yang telah membeberkan banyak pesan kepada umat manusia di era digitalisasi. Pesan utamanya adalah untuk lebih bijak dalam bersosial media. 

The Social Dilemmamencoba membongkar dampak-dampak negatif dari media sosial, seperti: interaksi individu yang kian menurun, kesehatan mental yang terganggu, maraknya berita yang tidak valid dan provokatif, serta beredarnya informasi yang tidak etis. 

Dalam konteks keberislaman, berserakannya Informasi yang tidak etis penting untuk menjadi perhatian dengan mencoba melihat hubungan media dan Islam–yang bahkan telah menjadi ajang kontestasi narasi yang plural. Termasuk mengakarnya narasi-narasi yang monolitik, anti keberagaman dan haus akan pengakuan.

Ruang digital menjadi arena kontestasi ideologis, tanpa ada lagi pertanggung jawaban moral secara profesi. Ruang yang selalu mungkin bagi penghakiman, cacian dan flexing. Yang pasti telah menjadi tantangan arus utama terhadap posisi dilematis keberimanan seseorang secara digital.

Hal ini bisa kita lihat dalam perkembangan media di dunia Islam khususnya di Indonesia seperti diutarakan oleh Janet Steele (2018) dalam Mediating IslamCosmopolitan Jurnalisme in Muslim Southeast Asia, ia menunjukan bagaimana wajah media menjadi beragam secara ideologis dan telah menempatkan masing-masing media dalam hubungan kuasa keimanan. Dalam hal ini, media telah mendistraksi ekspresi kehidupan beragama yang privat dan egaliter dalam kehidupan manusia.

Dalam tradisi Islam misalnya, ketika memasuki bulan suci Ramadhan, tak jarang mayoritas dari umat Islam; menjadikan media sosial untuk mengekspresikan keberimanan mereka. Baik dalam narasi amal shaleh, sampai pada hal-hal yang bersinggungan; kemewahan saat sahur dan berbuka puasa, sampai pada keistimewaan di ruang sosial sejenisnya.

Semua dituangkannya di media. Sekedar menunjukkan keotentikan keimanan mereka di hadapan umat Islam lain. Hal ini dirasa kurang afdol ibadahnya jika belum dipamerkan pada ruang yang bisa diakses oleh berbagai orang. Seolah-olah, ada yang belum ditunaikan jika tanpa pengakuan di media sosial. 

Fenomena-fenomena seperti ini acap kali berserakan di media sosial, bahkan seringkali berlomba-lomba dijadikan konten untuk mengakumulasi keuntungan melalui konten-konten yang berkaitan dengan ibadah pada bulan suci Ramadan.

Bukan tidak bisa, namun dilakukan di bulan yang pada prinsipnya menjadi ruang sakral dan kesempatan untuk menyadari bahwa Islam merupakan agama yang bersifat egaliter. Justru membiarkan media menampik wajah Islam yang penuh kesenjangan, keangkuhan iman, dan perasaan tidak setara bagi umat Islam lainnya. Ibadah bulan ramadan sengaja dibiarkan mengambang di media dan tanpa disadari telah menjejali kesia-siaan bulan yang suci ini. 

Carl Newport dalam bukunya  Digital Minimalism (2019)  pernah membuat eksperimen yang dilakukan secara bersamaan pada 1900 orang dengan cara menghapus satu aplikasi  yang menurut mereka paling mendistraksi kehidupan selama menggunakan sosial media.

Hanya butuh satu bulan bagi mereka untuk mendetox atau menjaga jarak dengan satu aplikasi yang dihapusnya. Pilihan ini dapat diambil untuk melawan kecenderungan pada hawa nafsu digital. Atau bisa juga dengan tips kedua, yakni mulai membiasakan diri dengan berjarak dengan gadget untuk untuk menghindari jika kita sudah terlanjur terdistraksi, Misalnya: Pada momen-momen menjalankan aktivitas keseharian, baik saat bepergian, saat berkumpul dengan keluarga, reunian, dan utamanya pada saat menjalankan ibadah seperti sholat, sahur, berbuka puasa dan seterusnya.

Sebisa mungkin kita menghindari diri dulu dari penggunaan gadget secara berlebihan. Dan yang terakhir, mengganti kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi menggiatkan diri dengan berjalan kaki. Maka di bulan suci ramadan kali ini, hal demikian bisa kembali dibiasakan dengan mengganti aktivitas ngabuburit berkendaraan dengan berjalan kaki tanpa harus diganggu oleh gadget.

 Dari eksperimen yang dilakukan Carl Newport ini, hasilnya kemudian, sebulan setelah 1900 orang tadi kembali membuka aplikasi yang dihapus, menjadikan tiap-tiap dari diri mereka menyadari bahwa ada yang sia-sia pada penggunaan dan pengekspresian mereka terhadap media selama ini. Selain itu, perasaan jenuh, tidak punya manfaat, kian dirasakan dari efek berpuasa secara digital tadi.

Eksperimen Carl Newport ini patut dijadikan satu ijtihad baru oleh umat Islam dalam menjalankan puasa ramadan dengan khidmat. Yang artinya, dengan puasa digital, kita mengembalikan hakikat berpuasa yang tidak hanya dijadikan sebagai rutinitas semu di ruang sosial media. Puasa digital sejatinya kita menjadikan bulan ramadan kembali pada fitrahnya, yang menurut Nurcholis Madjid, puasa ramadan harus dijalankan dengan bulan bagi ketakwaan, kewargaan, dan kemanusiaan.

Editor: RM

Penulis:

Moh. Fikli Olola adalah Ketua Umum DPD IMM Sulawesi Utara Periode 2024-2024 dan Pengurus Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *